Korban Talangsari 1989 Dalam Bayang-Bayang Trauma, Bagaimana Cara Korban Berusaha Berdamai Dengan Trauma?

25 Desember 2023, 10:43 WIB
Korban Talangsari 1989 Dalam Bayang-Bayang Trauma, Bagaimana Cara Korban Berusaha Berdamai Dengan Trauma? /FJPI/

Lampung Pride-- Memperingati Hari HAM Sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Desember, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Lampung dan Metro Lampung News bekerja sama dengan SEA Junction mengadakan diskusi kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Lampung yakni Peristiwa Talangsari 1989.

Peristiwa Talangsari 1989 merupakan salah satu dari 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Peristiwa ini terjadi 34 tahun lalu tepatnya pada 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (saat itu masih Kabupaten Lampung Tengah).

Dusun Talangsari atau yang lebih familiar dikenal dengan Dusun Cihideung saat ini sudah berganti nama menjadi Dusun Subing Putra 3. Alasannya tak lain karena nama “Talangsari” sendiri akan terus mengingatkan para korban terhadap penderitaan dan kisah kelam pada masa orde baru tersebut.

Baca Juga: Korban Talangsari 1989 Masih Menanti Penyelesaian Yudisial dari Pemerintah

Diskusi Korban Peristiwa Talangsari 1989 bertajuk “Berdamai dengan Trauma” tersebut menghadirkan para korban dari Peristiwa Talangsari, Dosen Psikologi dari Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Raden Intan Lampung, Fiqih Amalia, M.Psi., Direktur LBH Bandar Lampung Sumaindra Jarwadi, S.H.

Mengawali diskusi, salah satu korban Tragedi Talang Sari, Edi Arsadad menceritakan kronologi peristiwa tersebut dimana saat kejadian hari itu ia masih kelas 1 SMP dan dalam kejadian itu 11 teman sebayanya hilang sampai sekarang.

"Jika meninggalpun tak pernah ditemukan mayatnya hingga saat ini. Jamaah di masjid meninggal, ustad atau guru ngaji saya pun meninggal hari itu,” jelasnya.

Setelah kejadian, ayah Edi ditangkap oleh TNI. ia pun sempat mengungsi ke Padang bersama ibunya namun di sana ternyata mereka pun juga ditangkap. Di penjara di korem dam mendapat penyiksaan  seperti direndam berjam-jam dalam air, ditakut-takuti, sampai melihat ibunya disiksa. Hal itu pun menyisakan luka dan trauma pada dirinya.

Tak hanya Edi, ada tiga korban lain yang juga menceritakan penderitaannya atas peristiwa Talangsari dimana para korban menderita trauma ketakutan pada suara petasan yang mirip dengan suara tembakan, suara ban meletus juga takut ketika ada orang mengetuk pintu rumah bahkan takut dengan seragam TNI.

Baca Juga: Korban Trauma Peristiwa Talangsari 1989 Memerlukan Bantuan Profesional

Tak hanya itu, peristiwa Talangsari nyatanya memiliki dampaknya sangat luas terhadap kehidupan para korban, pasalnya rumah-rumah warga juga turut dibakar desa Cihideung pun sempat ditutup bertahun-tahun.

Hal ini membuat desa Cihideung menjadi seperti desa mati, perekenomian warga pun terganggu. Mereka harus ememulai hidup dari nol kembali dengan pekerjaan serabutan di tempat pengungsian.

Seperti keluarga besar Turasih yang harus tinggal di gubuk kecil di pengungsian dan menjadi kuli dengan upah Rp1.700 karena para suami di keluarganya di tangkap.

Saat ini, status tanah di lokasi terjadinya peristiwa Talangsari statusnya masih belum jelas kepemilikannya. Para korban yang dulu memiliki tanaha itu kesulitan untuk megurus surat tanah mereka. Mereka pun meminta pemerintah untuk segera memberikan surat resmi tanah para korban di Talangsari.

Menanggapi trauma yang dialami para korban persitiwa Talngsari, dosen Psikolog UIN Raden Intan Lampung, Fiqih Amalia pun mengatakan para korban Tragedi TalangSari pasti membutuhkan waktu yang sangat panjang sampai bisa berdamai dengan trauma atas kejadian luar biasa yang pernah mereka alam.

“Di sisi lain korban membutuhkan keadilan, dan untuk mendapatkan keadilan itu mereka harus terus menceritakan kejadian yang mereka alami terus menerus yang mau tak mau kembali mengorek luka dan penyebab trauma mereka,” katanya.

Fiqih pun memberikan solusinya agar komunitas masyarakat bisa membuatkan film dokumenter keterangan para korban Tragedi Talang Sari. Selain itu ia berharap mesyarakat termasuk keluarga dan tetangga untuk tidak mendiskriminasi para korban pelanggaran HAM tersebut.

Direktur LBH Bandar Lampung Sumaindra Jarwadi juga menambahkan peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia termasuk Talangsari kini semakin dinormalisasi. Generasi saat ini dibuat tidak tahu sehingga cuek dengan peristiwa besar yang memberikan penderitaan panjang bagi korban.

Ia pun meminta generasi muda saat ini untuk terus menyuarakan kasus-kasus pelanggaran HAM karena sampai hari ini belum ada keadilan atas para korban, pelaku belum ditangkap dan belum ada pengakuan negara atas kejadian itu semua.

Sementara bagi korban seperti Turasih dan Sarwiyati cara mereka berdamai dengn rasa trauma adalah berusaha mengikhlaskan, mereka juga berusaha tak peduli lagi dengan omongan orang-orang yang masih mencibir mereka karena lelah menjawab pertanyaan orang-orang.

"Kalau dijelasin juga nggak ngerti," ucap Sarwiyati.***

Editor: Lutfi Yulisa

Tags

Terkini

Terpopuler