Korban Trauma Peristiwa Talangsari 1989 Memerlukan Bantuan Profesional

- 5 November 2023, 20:06 WIB
Korban trauma peristiwa Talngsari 1989 membutuhkan bantuan profesional
Korban trauma peristiwa Talngsari 1989 membutuhkan bantuan profesional /Metro Lampung News/Lutfi Yulisa

PR Metro Lampung News-- Peristiwa Talangsari terjadi pada tahun 1989. Meskipun sudah 34 tahun berlalu sejak peristiwa tersebut, rasa trauma masih membekas dalam ingatan para korban. Cerita-cerita yang dibagikan oleh Muhdianto, Sarwiyati, dan Ratinah, mencerminkan bagian dari pengalaman hidup mereka yang sulit untuk dilupakan. (baca : Kisah Korban Talangsari: Harapan Akan Keadilan)

Keberanian Ratinah (78 tahun) untuk mendatangi lokasi Talangsari tidak terjadi begitu saja. Supiyah, warga sekitar yang tekun membimbing Ratinah untuk kembali bersosialisasi dengan masyarakat, memainkan peran penting dalam proses ini. Setelah mengikuti pelatihan dari Yayasan Pulih pada tahun 2016, Supiyah memahami cara berbicara dan mendekati Ratinah dengan penuh kebijaksanaan.

Supiyah sendiri merupakan salah satu korban Talangsari yang memilih untuk tidak membangun rumah di lokasi semula. Perempuan berusia 53 tahun ini memutuskan untuk membeli tanah beberapa kilometer jauhnya dari lokasi Talangsari, mengingat suasana dusun tersebut terasa mati.

“Tidak ada kegiatan apa pun,” ungkap Supiyah, saat ditemui Agustus 2023 lalu. Ia menjelaskan bahwa jalanan masih berbatu-batu, membuat urusan seperti pengurusan KTP menjadi sulit dilakukan. Ia baru berhasil membuat KTP pada tahun 2019.

Fiqih Amalia, Dosen Psikologi dari Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Raden Intan Lampung, menjelaskan bahwa trauma merupakan dampak psikologis dari kejadian besar yang terjadi pada seseorang. Tragedi tersebut bisa berupa bencana alam atau kehilangan orang terdekat yang kemudian dapat memicu stres, gangguan tidur, dan hilangnya selera makan.

Fiqih melanjutkan bahwa trauma yang dialami oleh para korban Talangsari dapat diatasi melalui bantuan profesional dan pendampingan psikolog, sehingga mereka bisa mencapai kedamaian dalam menghadapi situasi mereka.

“Trauma ini tidak bisa dihapus, namun orang yang mengalaminya bisa dibantu agar bisa berdamai dengan kejadian yang sudah terjadi. Karena bagaimanapun, orang yang mengalami trauma tidak bisa mengelak dari kenyataan yang sudah terjadi," kata Fiqih.

Menurut Fiqih, para korban trauma juga membutuhkan dukungan sosial. “Mereka membutuhkan kita untuk mendengarkan mereka, memberikan pelukan, dan meraih tangan mereka sebagai bentuk dukungan untuk memberi motivasi agar mereka tetap kuat," tambahnya.

Fiqih menekankan bahwa ketika para korban mengingat masa-masa trauma tersebut, mereka akan merasakan rasa sakit, kecemasan, dan kejadian itu akan hidup kembali dalam ingatan mereka. Cara mengatasi trauma bisa bervariasi untuk setiap individu, seperti berbagi cerita dengan orang lain atau mengakhiri cerita lama untuk membuka babak baru dalam kehidupan mereka.***

Halaman:

Editor: Lutfi Yulisa


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x