Jejak-Jejak Trauma Peristiwa Talangsari 1989

- 7 Desember 2021, 16:23 WIB
Amir dan Istrinya, Siti Khubaisah barcerita tentang rasa traumanya akibat Peristiwa Talangsari, Sabtu 20 November 2021
Amir dan Istrinya, Siti Khubaisah barcerita tentang rasa traumanya akibat Peristiwa Talangsari, Sabtu 20 November 2021 /Metro Lampung News/Lutfi Yulisa/

Belum sempat makan, deru tembakan mengagetkan Ratinah. Ibu enam anak ini belum tahu apa yang sebenarnya terjadi, reflek ia bergegas mengambil kain jarik dan menggendong bayinya yang berumur 8 bulan.  Ratinah berlari bersama 4 anaknya, sambil menggendong anaknya yang masih bayi.

“Lari nyemplung-nyemplung kali (masuk-masuk sungai), mblasak-mblasak (menyusur) sawah,” Ratinah dan anaknya berlari ke desa sebelah di desa Pakuan Aji.

Ratinah tak mungkin bisa melupakan peristiwa di hari Senin itu, salah satu anaknya bernama Suwasono meninggal dalam peristiwa itu. Sono panggilan akrabnya meminta izin untuk sholat dhuhur di mushola. Anaknya memang sering membantu bersih-bersih di mushola pondok yang tak jauh dari rumahnya itu.

Mushola di lokasi pondok Cihideung (Talangsari) yang sudah dibangun dan diperbaiki kembali
Mushola di lokasi pondok Cihideung (Talangsari) yang sudah dibangun dan diperbaiki kembali

Namun ia tak pernah menyangka setelah peristiwa itu, Sono tak pernah muncul kembali.  Ibu enam anak ini, baru mendengar kabar dua hari kemudian bahwa Sono ditemukan tewas di sekitar pohon talas. Jasadnya langsung dikuburkan di sekitar tempat ia ditemukan oleh orang Pakuan Aji, tanpa Ratinah tahu makam tepatnya, karena lokasi Talangsari segera ditutup.

Bagi Ratinah, Suwasono yang memiliki makna Suasana merupakan anak ketiganya itu adalah anak yang pintar. Umurnya masih 20 tahun, dan belum menikah. 

“Dia baru beli celana panjang dua stel dari hasil nyabut singkong. Satu dipakai sholat, satunya digantung di rumah.”

Ratinah tak lagi bisa menikmati makanannya setelah kabar itu, mengurus anak berusia 8 bulanlah yang menjadi penghiburannya.

“Untung aku masih punya anak bayi keno nggo hiburan (bisa untuk hiburan), kalo nggak punya bayi paling aku yo gendeng (aku bisa gila),” terang Ratinah dengan suara serak sambil sesekali mengelap air mata mengenakan ujung jilbabnya.

Selama 30 setelah peristiwa Talangsari, Ratinah tak pernah berani mengunjungi lokasi kejadian, meski jarak dari rumahnya kini hanya sekitar 1 kilometer saja. Selama ini ia hanya banyak beraktivitas di dalam rumah. Ia takut menjadi perbincangan banyak orang yang mengaitkan keluarganya dengan Jamaah Warsidi sebagai pemberontak.

Halaman:

Editor: Alfanny Pratama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah