Jejak-Jejak Trauma Peristiwa Talangsari 1989

- 7 Desember 2021, 16:23 WIB
Amir dan Istrinya, Siti Khubaisah barcerita tentang rasa traumanya akibat Peristiwa Talangsari, Sabtu 20 November 2021
Amir dan Istrinya, Siti Khubaisah barcerita tentang rasa traumanya akibat Peristiwa Talangsari, Sabtu 20 November 2021 /Metro Lampung News/Lutfi Yulisa/

Sedih, takut, kecewa dan malu bercampur di benaknya saat itu. 

“Nggak berani pergi ke sekolah untuk nanya,” Siti bercerita sambil beberapa kali mengelus bahu dan lengannya. Ia merinding, mengingat peristiwa 32 tahun silam.

Amir juga mendapat SK skorsing gaji 50% tertanggal 30 Desember 1989. Setelah Amir dibebaskan, dengan gaji yang hanya 50% dan kewajiban lapor selama hampir empat tahun.

“Cari tambahan penghasilan cari singkong, kayu, bambu, kelapa dan membuat gedek (geribik), yang penting cukup untuk makan.” terang Siti.

Berkali-kali Amir mengajukan pemulihan status 100 persen gaji hingga ia pensiun di tahun 2005, namu upayanya tidak berhasil. Hingga akhirnya titik terang muncul di tahun 2021, Amir mendapatkan hak-hak atas gajinya yang tak dibayarkan.

“Anak masih kecil-kecil, sekolah yang sudah saya programkan nggak tercapai,” Anak-anak Amir kemudian memilih menjadi pekerja migran untuk membantu ekonomi keluarga.

Siti berharap apa yang dialami keluarganya ini tak akan terulang kembali. Ia yakin bahwa suaminya tak bersalah karena selama ini Amir tak pernah memiliki aktivitas berkumpul di luar rumah.

Selain Amir dan istrinya, ada pula Ratinah yang kini memilih tinggal kurang lebih 1 km dari lokasi peristiwa Talangsari.

Ratinah berusia 44 tahun saat peristiwa Talangsari 1989 terjadi. 6 Februari 1989, mendekati waktu sholat Dzuhur.

“Masih masak tewel (nangka) sambil naro tiwul. Baru saya tumplek, mau nyuruh makan anak-anak,”  cerita Ratinah sambil menahan tangis.

Halaman:

Editor: Alfanny Pratama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x