PR Metro Lampung News-- Mardi bersama istrinya sedang mengobrol berdua di teras rumahnya, Minggu 21 November 2021. Di usianya yang ke-78 tahun Mardi dan Markinem (75) kini tinggal berdua. Sekilas tak ada yang terlihat berbeda dengan rumah yang dihuni oleh Mardi dan Markinem.
Namun jika mengingat peristiwa Talangsari tahun 1989, Mardi dan Markinem adalah saksi bagaimana peristiwa Talangsari begitu menakutkan bagi masyarakat desa Subing Putera III (dahulu dikenal dengan nama Cihideung, Dusun Talangsari Kabupaten Lampung Timur).
Rumah Mardi berhadapan langsung dengan lokasi peristiwa Talangsari. Dahulu, di depan rumahnya ada pondok pesantren yang baru akan diresmikan. Sebelum masuk ke rumahnya, tamu yang berkunjung bisa melihat ada angka terukir di lantai pintu masuk rumah Mardi. 1989, angka yang terukir di lantai semen Mardi, merupakan tahun di mana Peristiwa Talangsari terjadi.
Mardi bersama Markinem terpaksa mengungsi setelah deru tembakan mengagetkannya di siang hari mendekati waktu dhuhur 32 tahun silam. Markinem, istri Mardi lari bersama 8 orang anaknya berbekal tiwul yang ia taruh tampah di kepalanya.
“Larinya sendiri-sendiri, nggak inget mau bareng-bareng. Masih pakai kaos dan celana dari sawah, belum sempat ganti baju,” Mardi berpikir kalau tidak lari saat itu, ia bisa mati.
Diantara rumah-rumah di lokasi peristiwa Talangsari, hanya rumahnya yang dibangun dengan batu bata, lainnya masih menggunakan kayu sehingga habis terbakar. Baru rumah Mardi yang sudah menggunakan bata, sehingga para tentara memanfaatkannya sebagai basecamp.
“Saya masuk sini tahun 2000,” ucap Mardi mengenang.
Selama 11 tahun Mardi terusir dari rumahnya, tak berani kembali ke rumahnya yang dijadikan basecamp oleh pihak Korem dan Koramil. Setelah pulang, mereka mendapati banyak lubang peluru menembus dinding-dinding rumahnya. Semua peralatan seperti kasur dan barang-barang hilang tak berbekas.