Setelah itu, Muhdianto dibawa ke Kodim, Metro. Di sana, ia diturunkan di halaman. Ia masih ingat saat Komandan keluar membawa panah dan ketapel. Kemudian ia dimaki-maki dan dituduh membuat senjata-senjata tersebut.
"Kamu yang membuat ini," Muh menirukan ucapan sang Komandan yang kala itu sambil menunjuknya.
Kemudian, ia bersama empat rekannya dimasukkan ke dalam sebuah sel yang sangat sempit.
"Kami hanya bisa duduk jongkok berjejer," kata Muhdianto, ia bersama temannya disekap selama lima hari lima malam.
Tidak berhenti di situ, Mudianto dan teman-temannya dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Metro selama sehari semalam, lalu dipindahkan ke LP Rajabasa. Di LP Rajabasa, ia ditahan selama 121 hari.
Peristiwa ini membuat anak keenam dari delapan bersaudara ini merasa seolah-olah diculik. Selama masa itu, keluarga Muhdianto mengira bahwa ia sudah meninggal dalam peristiwa di Cihideung. Saat ia pulang ke rumah, orang-orang di sekitar rumahnya pun terkejut.
"Waktu itu, saat akan melaksanakan tarawih, orang-orang berkata, Muh hidup lagi," kenangnya.
Sayangnya, setelah peristiwa itu, Muhdianto tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena ijazahnya telah dibuang, orangtuanya mengira bahwa putranya telah meninggal.
Kehidupan Muh berubah drastis. Ia diwajibkan melapor selama lima tahun. Sementara masa itu, ia hanya bisa bekerja sebagai buruh.
"Uang yang saya dapatkan dari menjadi buruh singkong habis untuk ongkos naik angkot menuju tempat pelaporan di Jabung," kata pria yang kini berusia 52 tahun ini.