Kisah Korban Talangsari: Harapan Akan Keadilan

- 3 November 2023, 20:36 WIB
Muhdianto saat mengantar kayu di rumah tetangganya.
Muhdianto saat mengantar kayu di rumah tetangganya. /Metro Lampung News/Lutfi Yulisa

Tak hanya itu, mendengar suara ban mobil meledak saja membuatnya takut.

Denger ban mobil fuso mbledos, ndredeg, (Mendengar suara ban mobil fuso meledak, ia gemetaran)," tambah Sarwiyati.

Meskipun merasa trauma akibat Peristiwa Talangsari 1989, Sarwiyati merasa lega telah datang ke Cihideung. Ia mengaku tidak menyesal datang ke Cihideung.

"Saya merasa bisa memberikan kekuatan pada ibu dan kakak saya," kata Sarwiyati yang merasa bahwa kehadirannya saat itu dapat membantu ibunya tetap waras.

"Ibu seperti hilang ingatan, sering melamun. Jika dipanggil, ia kaget," kenangnya.

Bagaimana tidak, sang ibu, Ratinah (78 tahun) harus kehilangan salah satu anaknya, Suwasono, dalam peristiwa itu. Pada hari Senin itu, Sono, panggilan akrabnya, meminta izin untuk salat Dhuhur di mushola. Sono sering membantu membersihkan musala pondok yang tidak jauh dari rumahnya.

Namun, Ratinah tidak menduga bahwa setelah peristiwa itu, Sono tidak pernah muncul lagi. Ibu enam anak ini baru mendengar kabar dua hari kemudian bahwa Sono ditemukan tewas di sekitar pohon talas. Jasadnya langsung dikuburkan di tempat ia ditemukan oleh warga Pakuan Aji, tanpa Ratinah mengetahui letak makamnya karena lokasi Talangsari segera ditutup.

Bagi Ratinah, Suwasono yang memiliki makna Suasana itu adalah anak yang cerdas. Saat itu, ia masih berusia 20 tahun dan belum menikah.

"Dia baru saja membeli dua stel celana panjang dari hasil nyabut (panen) singkong. Satu digunakan untuk salat, satunya digantung di rumah," ucap Ratinah.

Setelah kabar itu, Ratinah tidak lagi bisa menikmati makanannya. Satu-satunya penghiburnya adalah mengurus anaknya yang berusia 8 bulan.

Halaman:

Editor: Lutfi Yulisa


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x