Perempuan Pulau Pari Keluhkan Kurangnya Respons Pemerintah Terhadap Perlindungan Laut dan Pesisir

- 13 November 2023, 22:53 WIB
Asmania (tengah) bercerita perjuangan warga Pulau Pari, Jakarta Utara, melawan reklamasi besar-besaran saat berbicara di Green Press Community yang digelar Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of lndonesian Environmental Journalists/SIEJ) di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta.
Asmania (tengah) bercerita perjuangan warga Pulau Pari, Jakarta Utara, melawan reklamasi besar-besaran saat berbicara di Green Press Community yang digelar Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of lndonesian Environmental Journalists/SIEJ) di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta. /SIEJ/

PR Metro Lampung News-- Asmania, penggerak Kelompok Perempuan Pulau Pari, membagikan kisah mengenai kondisi warga di pulau tersebut, yang hanya berjarak dua kilometer dari Ibu Kota Jakarta, yang menjadi korban kebijakan tidak berpihak dari perusahaan dan pemerintah.

Asmania menyampaikan ceritanya dengan penuh emosi dalam acara 'Green Press Community' yang diselenggarakan oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of Indonesian Environmental Journalists/SIEJ) di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, pada Kamis 9 November 2023.

Dalam kesempatan tersebut, Asmania menegaskan bahwa warga Pulau Pari, terutama perempuan, telah sepenuhnya berkomitmen untuk menjaga keberlanjutan lingkungan laut dan pesisir. Pasalnya, laut memainkan peran kunci sebagai sumber kehidupan bagi mayoritas warga yang berprofesi sebagai nelayan.

Baca Juga: Penyederhanaan Aturan Menimbulkan Ancaman Eksploitasi di Sektor Perikanan

Dia menjelaskan bahwa para perempuan di Pulau Pari secara rutin menanam mangrove di wilayah pesisir sebagai salah satu upaya pelestarian ekosistem laut.

"Kami, perempuan-perempuan Pulau Pari, berkomitmen untuk menanam mangrove setiap bulan. Terakhir, kami menanam 6.000 mangrove bersama wisatawan," ujar Teh Aas, panggilan akrabnya.

Namun, upaya tersebut tampaknya kehilangan makna karena adanya proyek reklamasi besar-besaran. Hal ini mengakibatkan rusaknya ekosistem laut dan mengakibatkan sulitnya para nelayan mendapatkan hasil tangkapan.

"Ketika kami menanam mangrove, reklamasi besar-besaran terjadi di gugusan Pulau Pari. Ini menyebabkan rusaknya terumbu karang dan kesulitan nelayan untuk melaut," ungkapnya.

Dia menambahkan bahwa ketidakmampuan para nelayan untuk melaut secara langsung mempengaruhi perempuan Pulau Pari secara ekonomi. Mereka harus bekerja ekstra keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Asmania menyatakan bahwa keluhan mereka sudah disampaikan kepada berbagai pihak, termasuk Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan Provinsi DKI Jakarta, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil positif, dan mereka merasa bahwa pemerintah lebih memihak kepada perusahaan-perusahaan yang mendukung proyek reklamasi.

Lebih lanjut, Asmania mengungkapkan bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut memberikan tekanan kepada warga Pulau Pari, bahkan dengan menggunakan taktik yang dianggap tidak etis.

"Cara perusahaan ini seperti zaman VOC. Kami, warga Barat dan Timur, diadu domba oleh mereka. Banyak teman kami yang direkrut sebagai petugas keamanan, dipekerjakan oleh perusahaan. Sehingga banyak teman kami yang tidak lagi berjuang bersama kami," katanya sambil menahan tangis.

Dia menegaskan bahwa warga Pulau Pari akan terus berjuang untuk bertahan di tanah kelahiran mereka dengan terus menanam mangrove sebagai bentuk perlawanan.

"Menanam mangrove adalah bentuk perlawanan kami. Kami tidak ingin menjadi budak di tanah sendiri, meskipun harus terus berhadapan dengan petugas keamanan yang dikirimkan oleh perusahaan," tegasnya.

"Kami terus berjuang untuk masa depan anak cucu kami," pungkasnya.

Green Press Community merupakan inisiatif pertama yang diorganisasi oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of Indonesian Environmental Journalists/SIEJ) untuk mengumpulkan ide dan membangkitkan gerakan bersama dalam pelestarian lingkungan hidup di Indonesia. Acara ini telah berlangsung sejak Rabu (8 November 2023) dan melibatkan berbagai sesi pembelajaran, talk show, serta konferensi dengan ratusan peserta dari berbagai latar belakang, termasuk pers, organisasi non-pemerintah, dan mahasiswa.***

Editor: Lutfi Yulisa


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah