Penyederhanaan Aturan Menimbulkan Ancaman Eksploitasi di Sektor Perikanan

- 13 November 2023, 22:46 WIB
Mida Saragih, Ocean Program Manager Yayasan Econusa, berbicara di acara Green Press Community yang berlangsung di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Kamis (9/11/2023).
Mida Saragih, Ocean Program Manager Yayasan Econusa, berbicara di acara Green Press Community yang berlangsung di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Kamis (9/11/2023). /SIEJ/

PR Merto lampung News-- Mida Saragih, Manajer Program Kelautan Yayasan Econusa, menekankan pentingnya menjaga agar peraturan tidak menjadi alat yang malah mendukung eksploitasi alam di Indonesia, khususnya dalam sektor perikanan, yang dapat merugikan masyarakat adat, tradisional, dan pesisir.

"Saya memiliki kekhawatiran, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja, bahwa semua proses perizinan, termasuk di sektor kelautan dan perikanan, menjadi lebih sederhana," ujar Mida dalam diskusi di acara Green Press Community (GPC) di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, pada Kamis 9 November 2023 lalu.

Mida mengungkapkan bahwa upaya penyederhanaan tersebut berpotensi menimbulkan ancaman terhadap kawasan konservasi, seperti mengintegrasikan kawasan tersebut ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).

Baca Juga: Peluang Pemanfaatan Kecerdasan Buatan AI dalam Jurnalisme Lingkungan

Pada kesempatan itu, Mida membahas dua Peraturan Pemerintah (PP) yang baru muncul sepanjang 2023, yaitu PP No. 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dan PP No. 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.

Dalam PP No 26/2023, pemanfaatan hasil sedimentasi diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang memfasilitasi pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan/atau penjualan sedimen di laut. Mida menyebutnya sebagai "tambang pasir laut."

Mida kemudian mengingatkan peristiwa di Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan, yang pernah menjadi lokasi penambangan pasir laut oleh PT Royal Boskalis untuk proyek pembangunan Makassar New Port (MNP), salah satu proyek strategis nasional. Pengerukan pasir tersebut dilakukan antara Februari dan Agustus 2020.

"Setelah PT Boskalis tidak lagi beroperasi di Pulau Kodingareng di Sulawesi Selatan, nelayan masih kesulitan mendapatkan ikan karena terumbu karang rusak akibat penggalian laut untuk penambangan pasir laut," ungkap Mida.

"Dan sekarang, setelah lebih dari satu tahun berhenti beroperasi, apakah ekosistemnya bisa pulih? Tidak. Banyak nelayan beralih profesi, bahkan pindah dari Sulawesi Selatan ke Ambon karena mendapatkan lebih banyak ikan di sana."

Halaman:

Editor: Lutfi Yulisa


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x