Korban Talangsari 1989 Masih Menanti Penyelesaian Yudisial dari Pemerintah

- 5 November 2023, 20:37 WIB
Dusun Talangsari kini telah berganti nama menjadi dusun Subing Putera III
Dusun Talangsari kini telah berganti nama menjadi dusun Subing Putera III /Metro Lampung News/Lutfi Yulisa

 

PR Metro Lampung News-- Pada tanggal 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo menegaskan komitmen pemerintah untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa depan. Dalam upaya ini, Jokowi meminta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, untuk mengawal implementasi langkah-langkah pemerintah. Tindakan ini diharapkan tidak hanya menjadi sebuah komitmen, tetapi juga langkah nyata dalam memperkuat persatuan dan kerukunan di Indonesia, serta membantu menyembuhkan luka yang ada di antara sesama anak bangsa.

Sebagai kepala negara, Jokowi mengakui adanya berbagai pelanggaran HAM yang berat dalam sejarah Indonesia, termasuk Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti Semanggi 1 dan Semanggi 2 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA di Aceh 1999, Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.

Dalam menyikapi hal ini, Presiden menyatakan rasa simpati dan empati yang mendalam kepada keluarga korban. Ia berkomitmen untuk memulihkan hak-hak para korban dengan cara yang adil dan bijaksana, tanpa mengabaikan proses penyelesaian yudisial yang seharusnya berlangsung. Presiden berusaha menjalankan upaya-upaya tersebut dengan penuh kehati-hatian dan kebijaksanaan, tanpa menegasikan pentingnya penegakan keadilan dalam proses tersebut.

Baca Juga: Kisah Korban Talangsari: Harapan Akan Keadilan

Dalam keterangan yang disampaikan melalui saluran resmi YouTube Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia pada tanggal 12 Januari 2023, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menjelaskan bahwa penyelesaian yudisial tetap berlaku sesuai dengan Pasal 46 dan tidak memiliki batas waktu kadaluarsa. Pemerintah juga tengah merancang langkah-langkah pemulihan bagi korban pelanggaran HAM berat, sejalan dengan rekomendasi dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).

Langkah-langkah pemulihan tersebut meliputi bantuan untuk peningkatan ekonomi, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, pembangunan memorial, penerbitan dokumen kependudukan, beasiswa pendidikan, rehabilitasi medis dan psikis, perlindungan korban, pelatihan dan pembinaan wirausaha, serta pelatihan lainnya. Selain itu, pemerintah juga memberikan hak pensiun kepada korban yang sebelumnya merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan anggota TNI atau Polri. Bantuan juga diberikan dalam bentuk alat berat, bibit ternak untuk pertanian, renovasi rumah, perbaikan irigasi, bantuan sosial tunai, dan penyediaan akses air bersih.

Program penyelesaian non-yudisial ini kemudian berlanjut dengan agenda Kick Off Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat yang berlangsung di Rumah Geudong, Kabupaten Pidie, Aceh, pada Selasa, 27 Juni 2023. Aceh dipilih sebagai lokasi pelaksanaan program rekomendasi Tim PPHAM.

Acara Kick Off Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Rumah Geudong dihadiri oleh para korban pelanggaran HAM berat masa lalu, baik secara langsung maupun virtual. Presiden Jokowi menyatakan bahwa ini adalah langkah awal yang dimulai dari Aceh. Presiden Jokowi juga menekankan bahwa program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat akan terus berlanjut.

Dalam keterangan resmi, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa pemerintah telah memutuskan untuk mengambil jalur penyelesaian non-yudisial terkait pelanggaran hak asasi manusia berat, dengan fokus pada pemulihan hak-hak korban.

“Ini sebuah ikhtiar untuk memulihkan luka bangsa akibat pelanggaran HAM berat masa lalu yang meninggalkan beban yang berat bagi para korban dan keluarga korban.”

Presiden Jokowi menegaskan bahwa penyelesaian non-yudisial terhadap pelanggaran HAM berat di Indonesia telah melewati proses yang sangat panjang. Dalam konteks ini, ia mengucapkan terima kasih kepada para korban dan keluarga korban atas ketabahan mereka dalam menghadapi setiap tahap proses tersebut.

“Saya yakin tidak ada proses yang sia-sia, semoga awal yang baik ini menjadi pembuka jalan bagi upaya-upaya untuk menyembuhkan luka-luka yang ada. Awal bagi terbangunnya kehidupan yang adil, damai, dan sejahtera di atas fondasi perlindungan dan penghormatan pada hak-hak asasi manusia dan kemanusiaan.”

Sementara itu, Menkopolhukam, Mahfud MD, menjelaskan bahwa penyelesaian non-yudisial telah menjadi jalur yang diambil oleh pemerintah sejak sebelum tahun 2000, melalui pengadilan HAM Ad Hoc. Namun, hasilnya selalu jauh dari harapan karena pembuktian dalam hukum acara pidana sangat sulit dipenuhi. Upaya membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga mengalami kendala dan tidak mencapai hasil yang diharapkan.

Menghadapi kompleksitas situasi ini, Presiden Jokowi telah mengambil keputusan penting dengan membentuk Tim Penyelesaian Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM) melalui Keputusan Presiden No 17 tahun 2022. Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa hak-hak para korban diutamakan, sebelum penyelesaian dilakukan melalui jalur-jalur lainnya. Jokowi dengan tegas menekankan bahwa perhatian utamanya adalah pada korban, bukan pelaku dari pelanggaran HAM berat tersebut. Namun, pemerintah tetap berkomitmen untuk menangani kasus ini sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, termasuk melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Langkah Penyelesaian Yudisial Dipertanyakan

Menyikapi keputusan di atas Muhdianto (52 tahun), salah satu korban peristiwa Talangsari 1989 yang kini menjadi peternak, menyambut langkah penyelesaian non-yudisial dengan tangan terbuka, meskipun ia tetap menekankan pentingnya penyelesaian melalui jalur yudisial. Menurutnya, hal ini krusial untuk membuktikan bahwa di Indonesia, hukum dan sistem peradilan beroperasi dengan integritas dan keadilan.

Muhdianto juga mempertanyakan apakah pemerintah memiliki tekad dan kemauan kuat untuk memastikan bahwa pelanggaran HAM berat diadili di pengadilan. Baginya, keberadaan sistem peradilan adalah indikasi nyata bahwa negara berkomitmen pada penegakan hukum yang adil dan transparan.

Baca Juga: Korban Trauma Peristiwa Talangsari 1989 Memerlukan Bantuan Profesional

Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jawardi.
Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jawardi. Metro Lampung News/Lutfi Yulisa

Namun, adanya langkah penyelesaian non-yudisial ini menimbulkan kekhawatiran bahwa penyelesaian melalui jalur yudisial akan terlupakan. Sumaindra Jawardi, Direktur LBH Bandar Lampung, menyatakan bahwa pembentukan Tim PPHAM menimbulkan keraguan apakah negara serius dalam menyelesaikan masalah ini melalui proses hukum. Meskipun penyelesaian non-yudisial penting untuk memenuhi kebutuhan korban, penting juga untuk memastikan bahwa hak keadilan tetap terjamin. Tim PPHAM seolah memberi kesan bahwa penyelesaian melalui jalur yudisial dikesampingkan, yang membuat masyarakat merasa ragu.

Selain itu, Sumaindra menegaskan bahwa pemenuhan hak korban melibatkan aspek lain seperti layanan psikologis dan akses kesehatan. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa proses penyelesaian mencakup semua kebutuhan yang diperlukan oleh korban.

Terkait kepemilikan aset tanah korban Talangsari yang belum jelas, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung bersedia memberikan pendampingan. Mereka akan membantu secara bertahap untuk menentukan kepemilikan tanah, menganalisis kronologi kejadian, serta menemukan ahli waris yang berhak atas tanah tersebut.

Pendapat serupa juga disuarakan oleh Fiqih Amalia, Dosen Psikologi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Raden Intan Lampung. Menurutnya, penyelesaian melalui jalur yudisial dan non-yudisial seharusnya dijalankan secara bersamaan. Menurut Fiqih, hanya dengan pendekatan yang komprehensif ini, kebutuhan korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan dapat sepenuhnya terpenuhi.

"Jika hanya salah satu jalur yang diambil, maka masih ada aspek yang belum terpenuhi," kata Fiqih.***

(Tulisan ini didukung oleh dana dari SEA Junction melalui Program Hibah Kecil Mempertahankan Ketangguhan di Tengah Krisis Berganda di Asia Tenggara/ Small Grants Program Staying Resilient Amidst Multiple Crises in Southeast Asia)

Editor: Lutfi Yulisa


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x