Senada dengan pendapat tersebut al-Jilli melihat manusia sebagai makhluk paripurna atau insan al-kamil.
Manusia paripurna inilah disebut dengan khalifah yang sesungguhnya. Bahkan menurut Ibnu Arabi manusia yang tidak sampai pada derajat kesempurnaan adalah binatang yang menyerupai manusia, dan tidak layak menyandang predikat khalifah. (Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern, Jakarta: Republika, hal. 94).
Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
Penjelasan tersebut menjadi motivasi penting bagi manusia agar senantiasa menyadari akan kesempurnaan dirinya, mengembangkan dan memelihara agar kelak kembali kepada berada dalam kondisi sebagaimana awal penciptaannya.
Teringat satu pertanyaan jamaah dalam sebuah acara kepada Prof. Quraish Shibab, tentang manusia terbaik. Beliau menjawab bahwa manusia terbaik adalah manusia yang dapat menjalankan apa-apa yang menjadi tujuan ia diciptakan.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat[51]: 56).
Konsep manusia terbaik dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam adalah orang yang bermanfaat bagi lainnya: