Peristiwa Talangsari 1989, Jangan Jadi Dendam yang Diwariskan

6 Februari 2023, 12:22 WIB
Kini listrik dan jalan beraspal dan dicor sudah bisa dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di dekat lokasi peristiwa Talangsari. /Metro Lampung News/ Lutfi Yulisa

PR Metro Lampung News-- Tragedi Talangsari atau kasus Warsidi terjadi pada 7 Februari 1989 di Dusun Cihideung, Desa Talangsari, Kecamatan Rajabasa Lama, Kabupaten Lampung Tengah (sekarang masuk Kabupaten Lampung Timur).

Lebih dari sekitar satu Batalyon TNI dari Korem Garuda Hitam Lampung menyerbu perkampungan Cihedeung, Desa Talangsari, Lampung Tengah. Penyerbuan yang dilakukan selepas subuh dari tiga arah itu mengakibatkan ratusan anggota jamaah pengajian yang dipimpin Warsidi tewas. Selain itu Kontras mencatat 23 orang lainnya ditahan secara sewenang-wenang, 25 diadili secara tidak fair, 78 orang saat ini tidak diketahui keberadaannya, dan 24 orang diusir dari desanya.

Penyerbuan terhadap perkampungan jamaah Warsidi dilakukan karena sehari sebelumnya seorang anggota TNI—Danramil Way Jepara Kapten Sutiman—tewas di kompleks pegajian tersebut. Sutiman tewas karena terkena panah beracun pada dada kanan dan kirinya serta bacokan golok.

TNI dan aparat pemerintah kecamatan ketika itu menilai pengajian itu dianggap akan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Warsidi sendiri memang merupakan salah seorang anak buah Abdullah Sungkar, tokoh NII yang pernah melarikan diri ke Malaysia.

Tragedi Talangsari sudah 34 tahun berlalu. Kini nama Talangsari pun telah berganti menjadi Subing Putera III. Subing Putera III adalah salah satu dari sepuluh dusun di Desa Rajabasa Lama Kabupaten Lampung Timur.

Perubahan nama ini bukan tanpa alasan, karena nama Talangsari dianggap terus mengingatkan pada peristiwa berdarah di tahun 1989, juga karena stigma negatif bagi masyarakat Talangsari.

Baca Juga: Nasib Korban Tragedi Talangsari: Ibarat Sakit Bertahun-tahun, tetapi Belum Diberi Obat

Dikutip dari buku berjudul Talangsari 1989: Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung karya Fadilasari tahun 2007, nama Talangsari sebenarnya tak begitu akrab bagi masyarakat di sana, nama Cihideung lebih populer bagi mereka.

Mulanya, Cihideung merupakan kawasan yang dibuka oleh sekumpulan penduduk yang berasal dari Jawa Barat yang kemudian ditinggalkan. Di tempat inilah kemudian berdiri pengajian yang dipimpin oleh Warsidi.

Warsidi berasal dari Jawa Tengah yang merantau ke Lampung untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Ia hanya tamatan SD dan bekerja sebagai petani. Namun semangatnya untuk terus belajar agama sangat kuat.

Pria yang memiliki empat orang anak ini rajin mengikuti pengajian. Ia lalu mengikuti pengajian Cihideung yang kala itu dipimpin oleh Imam Bakri. Lama kelamaan Warsidi memiliki banyak pengikut.

Setelah Peristiwa Talangsari 7 Februari 1989, lokasi pondok dan 8,5 ha tanah milik warga di sekitar lokasi peristiwa ditutup.

Menurut Komite Solidaritas Masyarakat Lampung Untuk Korban Talangsari (SMALAM), selama dua tahun Dusun Talangsari dijaga ketat oleh aparat.

Penutupan itu berakibat penduduk kesulitan keluar masuk dusun. Jika ingin keluar harus menunjukan KTP kepada petugas yang berjaga. Padahal Talangsari sering dijadikan jalur lintas untuk ke desa lainnya.

Ditemui di Lokasi peristiwa Talangsari, Minggu 15 Januari 2023, Suroto, Kepala RT Desa Subing Putra 3, mengatakan dirinya mulai berani bercerita soal Talangsari sejak era reformasi.

Ia pun turut menyuarakan suara korban Talangsari hingga ke Ibu Kota agar pemerintah mau peduli dengan keadaaan Desa Cihideung dan nasib para korban Talangsari.

Pasalnya Desa Cihideung pernah dikucilkan, pembangunan di desa ini lebih lambat dibanding desa-desa tetangga.

Dahulu banyak warga dusun Talangsari kesulitan mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), serta ditolak bersekolah dan bekerja di luar daerah ketika memperlihatkan KTP beralamat Talangsari.

Hal ini dialami Supiyah, salah satu korban Talangsari yang kesulitan mendapatkan KTP. Ia baru bisa mendapatkan KTP di tahun 2019.

“Bikin KTP dan KK di tempat tukang foto, minta tolong dibuatkan, bayar 150 ribu untuk dua orang,” katanya.

Perempuan berusia 53 tahun ini juga kesulitan mengakses layanan posyandu.

“Imunisasi nggak bisa, vitamin juga nggak dapet. Katanya orang lokasi jadi nggak dapet jatah,” katanya.

Keluarga Supiyah dicap sebagai orang lokasi dengan maksud ada kaitannya dengan peristiwa Talangsari.

Sementara akses air bersih dari bantuan pemerintah juga tak bisa diharapkan, meski instalasinya sudah masuk ke rumahnya.

“Nggak ngalir airnya,” terang Supiyah yang mengatakan baru mendapat instalasi air bersih kurang dari setahun.

Meski lambat, listrik dan jalan beraspal dan dicor kini sudah bisa dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di dekat lokasi peristiwa Talangsari sejak tahun 2021.

“Sebelumnya listrik di desa ini 'gantol' dari desa sebelah,” terang Suroto.

Jangan Jadi Dendam yang Diwariskan

Edi Arsadad, Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung menunjukan monumen peristiwa Talangsari. Metro Lampung News/Lutfi Yulisa

Kabar duka datang dari salah satu korban Talangsari, Zamzuri mengembuskan napas terakhirnya pada Sabtu,  7 Januari 2023.

Zamzuri adalah salah satu dari banyak korban yang berjuang untuk mencapai keadilan dan penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat Talangsari.

Hingga Zamzuri tutup usia, penyelesaian kasus Talangsari belum juga terlihat hasilnya.

Berdasarkan catatan Komnas HAM dalam Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat ada 130 orang terbunuh, 77 orang  dipindahkan secara paksa, 53 dirampas haknya sewenang-wenang, dan 43 orang disiksa dalam peristiwa Talangsari.

Presiden Jokowi pada 11 Januari 2023 menyatakan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi kembali di masa depan.

Jokowi kemudian meminta Menkopolhukam  untuk mengawal upaya-upaya pemerintah agar dua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik.

Sehingga akan menjadi langkah yang berarti untuk pemulihan luka sesama anak bangsa untuk memperkuat kerukunan negara Kesatuan Republik Indonesia

Sebagai kepala negara, Jokowi mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa dan ia menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-1966 yaitu Peristiwa 1965-1966,  Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti Semanggi 1 & 2 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA di Aceh 1999, Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003 dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.

Presiden menyatakan menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada keluarga korban serta berusaha memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.

 

Menkopolhukam Mahfud MD dalam keterangannya melalui Youtube Kemenko Polhukam RI pada 12 Januari 2023 lalu, mengatakan penyelesaian yudisial masih terus berlaku sesuai Pasal 46 dan tidak ada kadaluarsanya.

Pemerintah juga tengah menyiapkan langkah pemulihan bagi korban pelanggaran HAM berat, sesuai dengan rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) seperti bantuan peningkatan ekonomi, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, pembangunan memorial, penerbitan dokumen kependudukan, beasiswa pendidikan, rehabilitasi medis dan psikis, perlindungan korban, pelatihan dan pembinaan wirausaha dan pelatihan lainnya, hak pensiun terhadap korban yang dulunya ASN dan TNI atau Polri, bantuan alat berat, pertanian bibit ternak, renovasi rumah, perbaikan irigasi, bantuan sosial tunai, serta pengadaan air bersih.

Suroto selaku Kepala RT Desa Subing Putra III mengapresiasi pernyatan presiden Jokowi tentang bantuan yang akan diberikan pemerintah bagi para korban Talangsari.

Ia berharap hal itu bukan cuma janji-janji manis pemerintah.

"Tapi kalo bantuan cuma sekedar formalitas mending nggak usah," ucap Suroto mengingat perjuangannya selama ini bersama korban Talangsari lainnya.

Selain itu, Suroto tetap ingin agar kasus Talangsari tetap diselesaikan secara yudisial mengingat banyaknya korban akibat peristiwa itu.

Senada dengan Suroto, Sumaindra Jarwadi, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, menyatakan LBH Bandar Lampung dan Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (P2TL) menolak penyelesaian non yudisial.

LBH dan P2TL tetap mendorong pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat Talangsari diselesaikan  secara yudisial.

“Ini menjadi  tanggung jawab negara bagaimana para korban  mendapatkan diskriminasi, tak mendapatkan aksesibilitas selama bertahun-tahun,” kata Indra.

“Seharusnya negara memastikan tidak ada diskriminasi, pembangunan di lokasi menjadi kewajiban negara, Jika seperti ini, negara menjadi aktor diskriminasi,” tambah Indra, Kamis 5 Januari 2023.

Padahal  Indonesia adalah negara hukum, sehingga kepastian hukum harus dikejar.

Setuju dengan Indra, saat ditemui pada Minggu, 15 Januari 2023, Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) Edi Arsadad tetap meminta menyelesaikan kasus sesuai dengan UU No. 39 tahun 1999 Pengadilan HAM melalui mekanisme yudisial yakni UU No. 26 tahun 2000.

Menurut Edi, jika pemerintah ingin memberi rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa dan/atau untuk kepentingan korban atau keluarga korban, maka tak perlu Keppres Nomor 17 tahun 2022 tersebut.

“Penyelesaian non yudisial memang sudah menjadi kewajiban pemerintah kepada korban,” ucap Edi yang ikut menjadi saksi peristiwa Talangsari di Desa Sidorejo.

Menanggapi hal ini, Siti Noor Laila Hakim ad hoc ditemui Metro Lampung News, Rabu 4 Januari 2022 menyatakan penyelesaian non yudisial dan yudisial bukan untuk dihadap-hadapkan karena setiap negara memiliki situasi yang berbeda-beda, seperti situasi ekonomi politik dan ekonomi yang berbeda.

Sehingga memungkinkan beberapa alternatif penyelesaian yang bisa diterima masyarakat internasional seperti yudisial dan non yudisial.

Ia melanjutkan, negara juga bisa melakukan penyelesaian kedua-duanya, asalkan negara memiliki kemampuan.

Mengenai penyelesaian non yudisial, yang terpenting syarat-syaratnya terpenuhi, yang pertama negara memberi pengakuan bahwa terjadi pelanggaran HAM.

Kedua, negara mengungkapkan kebenaran terhadap terjadinya peristiwa. Ketiga, negara menjamin tidak terjadi keberulangan.

Keempat negara menjamin pemulihan korban sperti: restitusi pelaku, kompensasi dari negara, serta pemulihan nama baik.

Sejauh keempat syarat itu bisa dipenuhi, rekonsiliasi bisa diterima.

Siti Noor Laila Berharap masyarakat bisa bersabar dahulu dan mengikuti prosesnya.

"Kita kontrol syarat-syaratnya sudah terpenuhi belum. Jika prosesnya tidak sesuai baru komplain."

Pelanggaran HAM berat, jika proses pengadilan ada dua elemen penting yang pertama perbuatanya apakah memenuhi pelanggaran HAM berat atau tidak? Terjadi kepada penduduk sipil secara meluas tidak?.

Kedua, pertanggungjawabannya lebih ke siapa? Apakah ke komandan atau atasan yang layak dimintai pertanggung jawaban.

Untuk kasus Talangsari ini, Komnas HAM telah menyerahkan hasil penyelidikan kasus Talangsari, Lampung, ke Jaksa Agung sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sejak tahun 2008.

Kemudian Jaksa Agung yang harus menindaklanjuti kasus pelanggaran HAM berat itu sebagai penyidik. Namun hingga kini kasus tersebut tidak pernah beranjak ke tahap penyidikan dengan alasan belum cukup bukti.

Mengenai pembuktian di pengadilan, menurut ketua LBH Bandar Lampung ini jika pemerintah serius menangani kasus Talangsari maka Komnas HAM seharusnya diberi kewenangan khusus untuk penyelidikan.

“Bisa menggunakan acara biasa,  dengan teknis khusus, ya harus ada terobosan tersendiri.”

Hal serupa disampaikan oleh Jane Rosalina Rumpia selaku Divisi Pemantauan Impunitas Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) terkait  alat bukti adalah tugas utama penegak hukum  yang memiliki kompetensi lebih.

“Seharusnya bisa mencari alat bukti yang cukup, jangan membebankan ke korban dan masyarakat.”

“Di 2019 terbukti gagal secara akuntabel, hanya memperalat korban Talangsari di permukaan saja,” lanjut Jane, Rabu 18 Januari 2023,

Sehingga Kontras mempertanyakan apakah penyelesaian non yudisial hanya pembaharuan janji lama saja.

Jane Rosalina mengatakan meski banyak masyarakat  mengatakan pernyataan Presiden Jokowi pada 11 Januari merupakan salah satu langkah yang maju, namun Kontras mengaku tak sepemahaman dengan hal itu.

Kontras khawatir dengan dibentuk tim PPHAM tak mampu merealisasikan tindakan konkrit untuk menjerat pelaku di pengadilan HAM ad hoc seperti tim yang sebelumnya pernah dibentuk di tahun 2019 oleh Kemenkopolhukam.

Meski Presiden Jokowi dan Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan penyelesaian non yudisial tidak menihilkan penyelesaian yudisial, Dosen Hukum Universitas Lampung Hieronymus Soerja Tisnanta mengatakan bahwa penyelesaian non yudisial justru seolah-olah ingin menggeser proses penyelesaian yudisial.

“Penyelesaian nonyudisial pengaruhnya luar biasa, apalagi dilakukan hanya 4 bulan oleh orang-orang yang belum tentu memahami.”

Menurut Tisnanta saat ditemui pada Kamis 19 Januari 2023, setiap kasus pelanggaran HAM berat fokus karakteristiknya berbeda-beda tiap wilayah.

“Tidak bisa disamaratakan dengan penyelesaian non yudisial.”

Yang terpenting saat ini menurut dosen Hukum Universitas Lampung ini adalah menyembuhkan luka batin atas stigma dan pengucilan yang mereka terima tanpa mengabaikan penyelesaian di pengadilan.

“Bayangkan ketika dulu orang Talangsari mau  jualan pisang, sampai ditawar setengah harga karena dianggap tergabung ke dalam Gerakan Pengacau Keamanan, jalanan rusak tidak dibangun-bangun, akses listrik tidak ada.”

Hal tersebut dikatakan Tisnanta  akan terus membekas bagi para korban Talangsari.

“Dendam yang dirasakan orang tua, kemudian diturunkan kepada anak, kemudian diwariskan kepada anaknya lagi. Nggak akan selesai tanpa diketahui siapa pelakunya.”

Tisnanta menambahkan penyelesaian yang terbaik adalah membuat keputusan dari hasil pengadilan sehingga ada bentuk hukumnya.

“Permintaan maaf negara atas pelanggaran HAM berat itu disampaikan di pengadilan.”

Sehingga keluarga korban dan penyintas peristiwa Talangsari bisa mendapatkan keadilan dengan jalan non yudisial serta dibarengi dengan mekanisme yudisial.

Upaya Pemulihan Bagi Korban Talangsari

Para korban peristiwa Talangsari 1989 hingga saat ini belum mendapat penyelesaian melalui mekanisme yudisial.

Hal tersebut menimbulkan persoalan lain karena dalam UU No 26 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ada peraturan bahwa kompensasi dan restitusi untuk korban baru bisa mendapat kompensasi dan restitusi jika terdakwa atau tersangka divonis bersalah.

Hal ini disampaikan oleh Ali Nur Sahid, Tenaga Ahli LPSK Biro Hukum, Kerjasama dan Humas.

“Jika upaya pemulihan menggunakan pendekatan UU 26 2000, pasti akan berhenti karena di ketentuan tersebut mensyaratkan ada vonis pelaku, jadi sulit mendapatkan kompensasi.” terang Ali Nur Sahid.

Namun menurut Ali Nur Sahid, pidato Presiden Joko Widodo pada 11 Januari 2023 bisa menjadi pintu masuk untuk mendapatkan hak pemulihan bagi korban Talangsari.

Ali melanjutkan terkait pemulihan pagi para korban harus dibedakan antara hak konstitusional sebagai warga negara dan hak konstitusional sebagai korban.

Dalam upaya pemulihan korban pelanggaran HAM berat, mekanisme yang dilakukan di LPSK adalah berkoordinasi dengan Komnas HAM sebagai syarat formil.

“Harus ada surat rekomendasi dari Komnas HAM. Sayangnya di Talangsari baru 11 orang yang pernah mendapat pemulihan dari LPSK,” katanya.

Ke depan, Ali berharap ada pendataan ulang karena baru 11 korban Talangsari yang mendapatkan akses pemulihan serta melakukan asesmen kebutuhan korban.

“Kebutuhan korban seperti apa, bisa kita kembangkan dan diperkuat lagi bentuknya, jumlahnya berapa, aspeknya apa saja,” tambah Ali.

Gambarannya adalah LPSK bisa memberi bantuan yang bentuknya beragam dan bisa berkolaborasi dengan berbagai kementerian dan lembaga.

“Contohnya beasiswa pendidikan, bantuan pengembangan usaha misal modal, bantuan pupuk, merenovasi rumah, juga bantuan kesehatan,” tutup Ali.***

 

Editor: Alfanny Pratama

Tags

Terkini

Terpopuler