Kisah Korban Talangsari: Harapan Akan Keadilan

3 November 2023, 20:36 WIB
Muhdianto saat mengantar kayu di rumah tetangganya. /Metro Lampung News/Lutfi Yulisa

PR Metro Lampung News-- Senin sore di bulan Agustus 2023, Muhdianto, yang kini berusia 52 tahun, pulang ke rumah setelah mengantar kayu di rumah tetangganya. Di belakang rumah Muhdianto, ada beberapa ekor sapi yang dipeliharanya. Sapi-sapi tersebut merupakan titipan dari orang lain yang kemudian diurusnya. Muhdianto adalah salah satu korban peristiwa Talangsari 1989 yang pada saat itu sempat dipenjara. 

Sore itu, di belakang rumahnya, Muhdianto bercerita tentang kesedihannya ketika mendengar pernyataan Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara meminta maaf kepada masyarakat Indonesia atas pelanggaran HAM Berat yang terjadi di negara ini. Pernyataan tersebut disampaikan pada 11 Januari 2023, dimana Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen sungguh-sungguh untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM berat di masa depan.

Salah satu contoh pelanggaran HAM berat adalah peristiwa Talangsari 1989. Ketika peristiwa itu terjadi, Muhdianto masih duduk di kelas 2 Tsanawiyah. Ia masih mengingat dengan jelas pada tanggal 5 Februari, ketika ia dan 15 temannya berjalan kaki dari Bandar Agung ke Talangsari (sebelumnya dikenal dengan nama Cihideung). Pada pukul 7.30 pagi, mereka berangkat dan tiba di Cihideung sekitar pukul 4 sore. Setelah sholat Ashar, Muhdianto dan teman-temannya menunggu waktu salat Magrib dan Isya, karena pengajian diadakan setelah Sholat Isya. Setelah pengajian selesai, mereka pergi ke gardu.

Baca Juga: Peristiwa Talangsari 1989, Jangan Jadi Dendam yang Diwariskan

"Mau tidur, tidak ada tempat. Cari gardu, tidur di gardu saja," ujar Muhdianto pada hari Senin, 14 Agustus 2023.

Di sekitar gardu, Muh juga melihat ada banyak orangtua yang berjaga. Sekitar pukul 1 dini hari, Muhdianto mendengar suara ledakan senjata. Ia sangat terkejut karena tiba-tiba ditanya siapa namanya dan asalnya darimana. Tidak hanya itu, ia dan enam temannya yang tidur di gardu tiba-tiba tangannya diikat dengan tali rafia oleh anggota Koramil. Mereka kemudian dipaksa berjalan kaki menuju Koramil.

"Sambil disuruh cepat-cepat dan ditendang," Muhdianto bercerita mereka melewati persawahan.

Muhdianto dan teman-temannya berjalan sekitar 12 km, dan baru sampai di Koramil, Jepara, sekitar waktu subuh.

"Sampai di depan Koramil, kami ditanya lagi dan dipukuli lagi," kenang Muhdianto, mengatakan bahwa ia dipukul di wajah saat itu.

Setelah itu, Muhdianto dibawa ke Kodim, Metro. Di sana, ia diturunkan di halaman. Ia masih ingat saat Komandan keluar membawa panah dan ketapel. Kemudian ia dimaki-maki dan dituduh membuat senjata-senjata tersebut.

"Kamu yang membuat ini," Muh menirukan ucapan sang Komandan yang kala itu sambil menunjuknya.

Kemudian, ia bersama empat rekannya dimasukkan ke dalam sebuah sel yang sangat sempit.

"Kami hanya bisa duduk jongkok berjejer," kata Muhdianto, ia bersama temannya disekap selama lima hari lima malam.

Tidak berhenti di situ, Mudianto dan teman-temannya dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Metro selama sehari semalam, lalu dipindahkan ke LP Rajabasa. Di LP Rajabasa, ia ditahan selama 121 hari.

Peristiwa ini membuat anak keenam dari delapan bersaudara ini merasa seolah-olah diculik. Selama masa itu, keluarga Muhdianto mengira bahwa ia sudah meninggal dalam peristiwa di Cihideung. Saat ia pulang ke rumah, orang-orang di sekitar rumahnya pun terkejut.

"Waktu itu, saat akan melaksanakan tarawih, orang-orang berkata, Muh hidup lagi," kenangnya.

Sayangnya, setelah peristiwa itu, Muhdianto tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena ijazahnya telah dibuang, orangtuanya mengira bahwa putranya telah meninggal.

Kehidupan Muh berubah drastis. Ia diwajibkan melapor selama lima tahun. Sementara masa itu, ia hanya bisa bekerja sebagai buruh.

"Uang yang saya dapatkan dari menjadi buruh singkong habis untuk ongkos naik angkot menuju tempat pelaporan di Jabung," kata pria yang kini berusia 52 tahun ini.

Akhirnya, Muhdianto memberontak dan meminta agar ia dikembalikan ke Korem. "Saya lebih baik dipulangkan ke Korem daripada harus pergi ke Jabung setiap minggu," tambahnya.

Akhirnya permintaan Muhdianto disetujui. Muh bisa melakukan wajib lapor di Balai Desa selama 3 tahun.

Muhdianto menceritakan kisahnya sebagai korban peristiwa Talangsari 1989 Metro Lampung News/Lutfi Yulisa

Dengan adanya pernyataan Presiden Jokowi mengenai pengakuan kejahatan HAM Berat di masa lalu, Muhdianto berharap para korban Talangsari 1989 bisa mendapat keadilan serta peristiwa yang menimpanya ini tidak terjadi lagi pada rakyat Indonesia lainnya.

Situasi yang sama juga dialami oleh Sarwiyati (55 tahun). Sarwiyati sebelumnya tinggal di Menggala. Pada hari itu, 6 Februari 1989, ia pergi ke Cihideung untuk menengok ibunya. Sebelumnya, ia bermimpi yang membuatnya ingin bertemu dengan ibunya, sehingga ia memutuskan untuk pergi ke Cihideung dari Menggala

Tidak lama setelah tiba di rumah orang tuanya, ia mendengar keributan di luar.

Karena peristiwa itu, rumah sang ibu habis terbakar. Sarwiyati bersama ibu dan kakak perempuannya, Turasih lalu tinggal di gubuk berukuran 2 x 5 meter berlantai tanah.

Mereka sering kali terserang demam dan muntaber. "Air kami ambil dari rawa, makan apa yang ada," ujar Sarwiyati, mengatakan bahwa ia merasa sakit perut jika harus makan oyek karena tidak terbiasa.

Saat itu, Sarwiyati memiliki dua anak laki-laki, yang berusia 11 bulan dan 8 tahun. "Sangat sulit. Kami berjuang sekuat tenaga," katanya.

Ketakutan tersebut bahkan membuatnya demam ketika melihat tentara berseragam karena senjata laras panjang pernah diarahkan kepadanya.

Tak hanya itu, mendengar suara ban mobil meledak saja membuatnya takut.

Denger ban mobil fuso mbledos, ndredeg, (Mendengar suara ban mobil fuso meledak, ia gemetaran)," tambah Sarwiyati.

Meskipun merasa trauma akibat Peristiwa Talangsari 1989, Sarwiyati merasa lega telah datang ke Cihideung. Ia mengaku tidak menyesal datang ke Cihideung.

"Saya merasa bisa memberikan kekuatan pada ibu dan kakak saya," kata Sarwiyati yang merasa bahwa kehadirannya saat itu dapat membantu ibunya tetap waras.

"Ibu seperti hilang ingatan, sering melamun. Jika dipanggil, ia kaget," kenangnya.

Bagaimana tidak, sang ibu, Ratinah (78 tahun) harus kehilangan salah satu anaknya, Suwasono, dalam peristiwa itu. Pada hari Senin itu, Sono, panggilan akrabnya, meminta izin untuk salat Dhuhur di mushola. Sono sering membantu membersihkan musala pondok yang tidak jauh dari rumahnya.

Namun, Ratinah tidak menduga bahwa setelah peristiwa itu, Sono tidak pernah muncul lagi. Ibu enam anak ini baru mendengar kabar dua hari kemudian bahwa Sono ditemukan tewas di sekitar pohon talas. Jasadnya langsung dikuburkan di tempat ia ditemukan oleh warga Pakuan Aji, tanpa Ratinah mengetahui letak makamnya karena lokasi Talangsari segera ditutup.

Bagi Ratinah, Suwasono yang memiliki makna Suasana itu adalah anak yang cerdas. Saat itu, ia masih berusia 20 tahun dan belum menikah.

"Dia baru saja membeli dua stel celana panjang dari hasil nyabut (panen) singkong. Satu digunakan untuk salat, satunya digantung di rumah," ucap Ratinah.

Setelah kabar itu, Ratinah tidak lagi bisa menikmati makanannya. Satu-satunya penghiburnya adalah mengurus anaknya yang berusia 8 bulan.

"Beruntung saya masih memiliki anak bayi yang bisa menjadi penghibur. Kalau tidak, saya mungkin akan gila," ujarnya dengan suara serak, sesekali mengusap air mata dengan ujung jilbabnya.

Ratinah tidak akan pernah melupakan peristiwa itu. Setelah Peristiwa Talangsari, ia tidak berani mengunjungi lokasi kejadian, meskipun sekarang rumahnya hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari sana. Selama ini, ia hanya sibuk beraktivitas di dalam rumah. Ia takut menjadi bahan pembicaraan orang banyak yang mengaitkan keluarganya dengan Jemaah Warsidi, kelompok pemberontak.

Selain itu, alasan lainnya mengapa ia tidak mengunjungi lokasi peristiwa Talangsari adalah karena hal itu mengingatkannya pada kenangan rumah tempat dulu ia berkumpul bersama suami dan anak-anaknya.

"Ingetnya kan dulu ini rumah saya, sekarang enggak ada rumahnya," kata Ratinah, mengingat rumahnya yang telah lenyap terbakar. Pada tahun 2019, Ratinah akhirnya memutuskan untuk mengunjungi lokasi Talangsari. Ia memilih belajar menerima kenyataan bahwa peristiwa yang dialami keluarganya adalah sebuah takdir.***

(Tulisan ini didukung oleh dana dari SEA Junction melalui Small Grants Program Staying Resilient Amidst Multiple Crises in Southeast Asia)

Editor: Lutfi Yulisa

Tags

Terkini

Terpopuler