Talangsari Dulu dan Kini

9 Desember 2021, 20:10 WIB
Monumen yang ada di Dusun Subing Putera III, sevagai pengingat peristiwa Talangsari 1989 /Metro Lampung News/Lutfi Yulisa/

PR Metro Lampung News-- Nama Talangsari kini telah berganti menjadi Subing Putera III. Subing Putera III adalah salah satu dari sepuluh dusun di Desa Rajabasa Lama Kabupaten Lampung Timur.

Perubahan nama ini bukan tanpa alasan, karena nama Talangsari dianggap terus mengingatkan pada peristiwa berdarah di tahun 1989, juga karena stigma negatif bagi masyarakat Talangsari.

Dilansir dari buku berjudul Talangsari 1989: Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung karya Fadilasari tahun 2007, dulu banyak warga dusun Talangsari ditolak bersekolah dan bekerja di luar daerah ketika memperlihatkan KTP beralamat Talangsari.

Nama Talangsari diketahui tak begitu akrab pula bagi masyarakat di sana, nama Cihideung lebih populer bagi mereka. Mulanya, Cihideung merupakan kawasan yang dibuka oleh sekumpulan penduduk yang berasal dari Jawa Barat yang kemudian ditinggalkan. Di tempat inilah kemudian berdiri pengajian yang dipimpin oleh Warsidi.

Warsidi berasal dari Jawa Tengah yang merantau ke Lampung untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Ia hanya tamatan SD dan bekerja sebagai petani. Namun semangatnya untuk terus belajar agama sangat kuat.

Pria yang memiliki empat orang anak ini rajin mengikuti pengajian. Ia lalu mengikuti pengajian Cihideung yang kala itu dipimpin oleh Imam Bakri. Lama kelamaan Warsidi memiliki banyak pengikut.

Setelah Peristiwa Talangsari 7 Februari 1989, lokasi pondok dan 8,5 ha tanah milik warga di sekitar lokasi peristiwa ditutup. Menurut Komite Solidaritas Masyarakat Lampung Untuk Korban Talangsari (SMALAM), selama dua tahun Dusun Talangsari dijaga ketat oleh aparat.

Penutupan itu berakibat penduduk kesulitan keluar masuk dusun. Jika ingin keluar harus menunjukan KTP kepada petugas yang berjaga. Padahal Talangsari sering dijadikan jalur lintas untuk ke desa lainnya.

Berdamai dengan Trauma

Meski sudah 32 tahun berlalu, namun bayang-bayang trauma masih nampak jelas bagi korban-korban Talangsari. Retnoriani Psikolog dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung menjelaskan adanya trauma yang dialami para korban adalah hal wajar.

Baca Juga: Menilik Peristiwa Talangsari 1989, Kisah Korban Berdamai dengan Trauma

Retno menjelaskan munculnya rasa marah, menangis, benci adalah hal yang lumrah bagi para korban trauma.

“Itu adalah sebuah ekspresi, tetapi harus bisa dikontrol,” kata Retno, Rabu 8 Desember 2021.

Trauma yang muncul pada korban yakni ketika ada peristiwa yang melukai meskipun bukan secara langsung melukai orangnya, namun orang tersebut melihat ternyata orang-orang di sekitarnya terluka. Selain itu mereka juga tahu ada pelanggaran HAM pada peristiwa Talangsari.

“Sesuatu yang menyakitkan akan selamanya teringat, itu namanya luka psikologi,” lanjut Retno.

Selanjutnya, mengenai proses penerimaan korban trauma, Retno menjelaskan korban harus mendapat dukungan dari orang-orang di sekelilingnya seperti dukungan anak dan keluarga, agar korban bisa menerima.

“Peristiwa yang menyakitkan itu ketika kita berusaha untuk dilupakan, maka di dalam otak, ingatan itu akan ditumpuk ke bawah, namun ingatan itu akan muncul lagi, tidak bisa dilupakan,” tambahnya.

Apa yang bisa dilakukan untuk para korban saat ini menurut Retno adalah dengan melakukan diskusi terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dengan mengumpulkan para korban yang trauma, saling bercerita hingga terjadi katarsis (pelepasan emosi ) sehingga akan muncul perasaan empati bahwa mereka tidak sendirian mengalami hal itu.

“Yang memimpin FGD harus orang yang paham peristiwa Talangsari dan bisa mengarahkan, untuk menata hidup ke depan,” kata Retno.

Lewat FGD itu, diharapkan korban trauma bisa berdamai dengan cara memaafkan dirinya dan orang lain, dengan model memaafkan.

“Biarkan proses hukum berjalan. dengan memaafkan, mereka bisa berkompromi dan berdamai dengan situasi.”

Harapan Korban Talangsari

Lokasi Peristiwa Talangsari 1989, kini ditanami pohon singkong (November/2021)

Meski terkesan lambat, listrik dan jalan beraspal kini sudah bisa dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di dekat lokasi peristiwa Talangsari sejak tahun 2021.

“Dulu listriknya masih nggantol (tiang listrik belum masuk ke lokasi peristiwa),” ucap Edi Arsadad Ketua Paguyuban keluarga dan korban Talangsari (PK2TL).

Mardi (78 tahun) salah satu korban Talangsari yang rumahnya dijadikan basecamp sejak 1989 sampai tahun 2000, tampak senang melihat jalan di depan rumahnya yang berseberangan dengan lokasi peristiwa Talangsari kini sudah dibeton sejak 2021. Mardi merasa perjuangannya selama ini untuk mendapat keadilan mulai terlihat hasilnya.

“Mbah Mardi dulu juga ikut demo ke Jakarta,” tambah Edi.

Baca Juga: Jejak-Jejak Trauma Peristiwa Talangsari 1989

Sekarang, Supiyah (51), korban peristiwa Talangsari lainnya mengatakan sudah ada perbedaan di kampungnya. Sudah ada kelompok PKK juga ada kelompok tapis agar para perempuan juga bisa turut membangun desa mereka.

Supiyah berharap ia dan korban-korban peristiwa Talangsari bisa mendapatkan hak-hak mereka. Ada ganti rugi yang dibayarkan kepada para korban, rumah-rumah yang dulu dibakar, status tanah yang masih belum jelas kepemilikannya hingga mereka tak berani membangun rumah di lokasi rumah mereka dahulu.

Mengenai hal ini, Retno Psikolog RSJ Provinsi Lampung berharap ada kebijakan, dari pemda dan tokoh masyarakat di sana.

“Yang namanya milik ya harus dikembalikan, negara harus memfasilitasi dan hadir membuat kebijakan. Tanah milik siapa kan bisa ketahuan, nggak mungkin hilang begitu saja,” ucapnya.

Sementara itu, Amir, guru agama Islam yang turut menjadi korban mengatakan bahwa ia tak membenci orang-orang yang telah merampas hak-haknya saat itu.

“Di agama yang saya percayai kan nggak boleh benci, tapi proses hukum ya harus tetap berjalan,” harap Amir yang ingin kebenaran peristiwa Talangsari terungkap.

Edi Arsadad menjelaskan saat ini proses hukum kasus Talangsari masih berhenti di Kejaksaan Agung dengan alasan barang bukti dari Komnas HAM belum cukup. Sementara Komnas HAM memiliki keterbatasan untuk melengkapi bukti.

Lebih lanjut, Edi mengatakan bahwa ia ingin proses hukum tetap berlanjut agar masyarakat bisa tahu siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas terjadi peristiwa Talangsari.

“Yang penting proses hukum bisa berjalan, jadi tahu siapa yang bersalah dari hasil pengadilan,” tutupnya.***

Editor: Alfanny Pratama

Tags

Terkini

Terpopuler