Jejak-Jejak Trauma Peristiwa Talangsari 1989

7 Desember 2021, 16:23 WIB
Amir dan Istrinya, Siti Khubaisah barcerita tentang rasa traumanya akibat Peristiwa Talangsari, Sabtu 20 November 2021 /Metro Lampung News/Lutfi Yulisa/

PR Metro Lampung News--  Inilah satu bait puisi berjudul Nyeri Talangsari yang diciptakan oleh Amir, salah satu korban Talangsari yang tak kenal lelah memperjuangkan haknya. 

Bagai belalang

Yang Malang

Mati Terlentang

Tak ada belasungkawa

Tak ada tabur bunga

Tak ada doa

Bahkan tak ada

Penanda

Amir membuat sebuah buku berisi antologi puisi korban Talangsari yang ia beri judul Mahaduka Talangsari.

Sore itu, Sabtu 20 November 2021, aa dengan tegas mengatakan tak tahu menahu dan tak terlibat dengan peristiwa Talangsari. Yang ia ingat pada 4 April 1989 sekitar pukul 07.15 selesai memberi makan ternak ayam petelur, Amir  yang berseragam guru tengah bersiap-siap hendak berangkat mengajar ke SD Negeri Bandar Agung.

Baca Juga: Menilik Peristiwa Talangsari 1989, Kisah Korban Berdamai dengan Trauma

Tiba-tiba ketua RT datang menghampiri Amir, mengajaknya ke rumah bayan atau kepala dusun. 

“Pak tolong bapak suruh tempat Pak Bayan,” perintah pak RT saat itu.

Di sana ternyata sudah ada dua anggota TNI berseragam lengkap, juga ada Sekdes. Kemudian Amir dibonceng motor oleh Sekdes ke kantor Koramil Labuhan Maringgai.

Di kantor Koramil, Amir ditanyai perihal identitasnya, setelah itu guru Agama Sekolah Dasar ini dibawa dengan mobil dan tahu-tahu sudah sampai di kantor Kodim Metro. 

“Jam tangan, ada uang nggak banyak disita.”

Lagi-lagi pertanyaan yang sama dilontarkan tentang identitasnya, Amir dibawa lagi dengan mobil. Sekitar pukul 17.00 ia sadar sudah ada di kantor Garuda Hitam Tanjung Karang.

“Langsung dipotret kanan, depan, samping, belakang,” ungkap Amir setelah dirinya diinterogasi. 

Pemeriksaan masih belum selesai. Amir dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Rajabasa, Bandar Lampung.

Saat itu Amir mengaku tak ada perasaan curiga sama sekali, ia diberitahu hanya sebentar ke Koramil untuk dimintai keterangan lalu akan dipulangkan kembali. Namun rupanya hari itu menjadi hari dimana ia masuk ke sel tahanan. Di LP itu, lelaki berumur 76 ini bertemu dengan tahanan lainnya yang disangkut pautkan dengan peristiwa Talangsari.

Di ruangan jeruji besi berukuran 8x4 meter itu Amir seorang diri.

“Makan di situ, minum di situ, berak di situ, buang air kecil di situ,” tanpa ada toilet ucap Amir.

Kemudian selang dua bulan, atau pada  13 April 1989, Siti Khubaisah istrinya datang menjenguk Amir. Siti didampingi oleh seorang tetangganya. Untuk menjenguk Amir, Siti harus  melalui proses yang panjang, mulai dari izin Kepala Desa, izin ke Komandan Koramil, hingga ke Korem Garuda Hitam Tanjung Karang.

Amir masih ingat, ia dipenjara selama kurang lebih 16 bulan. 

Dalam proses interogasi petugas, pertanyaan yang diajukan ke Amir rata-rata sama antara lain adakah kaitannya dengan kasus Talangsari pada tanggal 7 Februari 1989.

Dikarenakan tidak adanya bukti keterlibatan Amir dalam peristiwa Talangsari, akhirnya ia dituduh terlibat dengan gerakan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). 

 “Saya yang sekecil dan sebodoh ini kok bisa ingin mendirikan Negara Islam Indonesia?” Amir merasa aneh dengan tuduhan tersebut.

Tanggal 20 Juli 1990, Amir dibebaskan melalui selembar surat keterangan pembebasan tahanan. Isinya Amir diduga terlibat dalam gerakan Negara Islam Indonesia di provinsi Lampung. Namun karena keterlibatannya tergolong ringan, kemudian ia dibebaskan.

Derita Amir rupanya belum berakhir setelah dibebaskan dari penjara. Amir diwajibkan melapor ke kantor Koramil Labuhan Maringgai selama hampir 4 tahun lamanya. Dari rumah ke koramil, Amir perlu naik dua angkutan umum oplet dua kali untuk sampai ke Koramil.

“Tidak hanya tanda tangan tapi membersihkan halaman Koramil yang luas, rumput-rumput harus bersih nggak boleh ada kertas,” kalau menolak Amir mengaku bisa dijotos.

Amir juga ditugaskan untuk mengepel ruangan, mengisi bak, mencuci piring, mencuci mobil dan motor. Tak hanya itu, Amir juga diminta membuat ajir dari bambu sebanyak 2.500 batang termasuk membeli bambu sendiri, mengantarkan ke kantor Koramil tanpa pemberian uang pengganti.

Sementara itu, di sekolah, Amir tak lagi mendapat izin mengajar. Guru Agama Islam ini memang datang setiap hari, namun aktivitasnya bukan mengajar selaiknya guru. Ia diberikan tugas untuk membantu administrasi, bersih-bersih halaman, membersihkan kantor dan kelas, mirip seperti tukang kebun. 

“Pernah disuruh ngecat tembok di dalam kelas, ada guru mengajar dan anak-anak masih belajar,” tuturnya Amir yang merasa dipermalukan saat itu.

Baru di tahun 2004, setelah ganti kepala sekolah, ia diperkenankan mengajar Agama Islam di kelas 1 hingga kelas 6. Amir  juga dipilih lagi menjadi Ketua Gugus Depan Pramuka SDN 1 Bandar Agung.

Selama ditahan 16 bulan, istri Amir hanya menerima gaji selama dua bulan saja. Siti Khubaisah terpaksa menjual semua ternak ayam ras berjumlah sekitar 450 ekor mereka demi bertahan hidup. Siti memutar akal untuk bisa menyambung hidup bersama 4 anaknya yang masih kecil-kecil.

“Jualan es, pecel lontong di depan rumah,” ucap Siti yang juga terpaksa meminjam uang ke Bank Plecit (Bank keliling).

Entah berapa kali ia menangis, memikirkan besok harus bagaimana? Sampai kapan kesulitan ini terjadi? Sambil memandangi empat anak yang masih kecil-kecil saat mereka tidur.

“Anak-anak nangis pingin bapaknya pulang, nangis minta beli baju lebaran,” cerita Siti meski sudah menjelaskan bahwa ayah mereka dipenjara.

Sedih, takut, kecewa dan malu bercampur di benaknya saat itu. 

“Nggak berani pergi ke sekolah untuk nanya,” Siti bercerita sambil beberapa kali mengelus bahu dan lengannya. Ia merinding, mengingat peristiwa 32 tahun silam.

Amir juga mendapat SK skorsing gaji 50% tertanggal 30 Desember 1989. Setelah Amir dibebaskan, dengan gaji yang hanya 50% dan kewajiban lapor selama hampir empat tahun.

“Cari tambahan penghasilan cari singkong, kayu, bambu, kelapa dan membuat gedek (geribik), yang penting cukup untuk makan.” terang Siti.

Berkali-kali Amir mengajukan pemulihan status 100 persen gaji hingga ia pensiun di tahun 2005, namu upayanya tidak berhasil. Hingga akhirnya titik terang muncul di tahun 2021, Amir mendapatkan hak-hak atas gajinya yang tak dibayarkan.

“Anak masih kecil-kecil, sekolah yang sudah saya programkan nggak tercapai,” Anak-anak Amir kemudian memilih menjadi pekerja migran untuk membantu ekonomi keluarga.

Siti berharap apa yang dialami keluarganya ini tak akan terulang kembali. Ia yakin bahwa suaminya tak bersalah karena selama ini Amir tak pernah memiliki aktivitas berkumpul di luar rumah.

Selain Amir dan istrinya, ada pula Ratinah yang kini memilih tinggal kurang lebih 1 km dari lokasi peristiwa Talangsari.

Ratinah berusia 44 tahun saat peristiwa Talangsari 1989 terjadi. 6 Februari 1989, mendekati waktu sholat Dzuhur.

“Masih masak tewel (nangka) sambil naro tiwul. Baru saya tumplek, mau nyuruh makan anak-anak,”  cerita Ratinah sambil menahan tangis.

Belum sempat makan, deru tembakan mengagetkan Ratinah. Ibu enam anak ini belum tahu apa yang sebenarnya terjadi, reflek ia bergegas mengambil kain jarik dan menggendong bayinya yang berumur 8 bulan.  Ratinah berlari bersama 4 anaknya, sambil menggendong anaknya yang masih bayi.

“Lari nyemplung-nyemplung kali (masuk-masuk sungai), mblasak-mblasak (menyusur) sawah,” Ratinah dan anaknya berlari ke desa sebelah di desa Pakuan Aji.

Ratinah tak mungkin bisa melupakan peristiwa di hari Senin itu, salah satu anaknya bernama Suwasono meninggal dalam peristiwa itu. Sono panggilan akrabnya meminta izin untuk sholat dhuhur di mushola. Anaknya memang sering membantu bersih-bersih di mushola pondok yang tak jauh dari rumahnya itu.

Mushola di lokasi pondok Cihideung (Talangsari) yang sudah dibangun dan diperbaiki kembali

Namun ia tak pernah menyangka setelah peristiwa itu, Sono tak pernah muncul kembali.  Ibu enam anak ini, baru mendengar kabar dua hari kemudian bahwa Sono ditemukan tewas di sekitar pohon talas. Jasadnya langsung dikuburkan di sekitar tempat ia ditemukan oleh orang Pakuan Aji, tanpa Ratinah tahu makam tepatnya, karena lokasi Talangsari segera ditutup.

Bagi Ratinah, Suwasono yang memiliki makna Suasana merupakan anak ketiganya itu adalah anak yang pintar. Umurnya masih 20 tahun, dan belum menikah. 

“Dia baru beli celana panjang dua stel dari hasil nyabut singkong. Satu dipakai sholat, satunya digantung di rumah.”

Ratinah tak lagi bisa menikmati makanannya setelah kabar itu, mengurus anak berusia 8 bulanlah yang menjadi penghiburannya.

“Untung aku masih punya anak bayi keno nggo hiburan (bisa untuk hiburan), kalo nggak punya bayi paling aku yo gendeng (aku bisa gila),” terang Ratinah dengan suara serak sambil sesekali mengelap air mata mengenakan ujung jilbabnya.

Selama 30 setelah peristiwa Talangsari, Ratinah tak pernah berani mengunjungi lokasi kejadian, meski jarak dari rumahnya kini hanya sekitar 1 kilometer saja. Selama ini ia hanya banyak beraktivitas di dalam rumah. Ia takut menjadi perbincangan banyak orang yang mengaitkan keluarganya dengan Jamaah Warsidi sebagai pemberontak.

Selain itu, ia juga memiliki alasan lain untuk tidak mengunjungi lokasi peristiwa Talangsari. Kenangan akan rumah tempat dulu berkumpul dengan suami dan anak-anak kembali teringat jika ia ke lokasi.

“Ingetnya kan dulu ini rumah saya, sekarang nggak ada rumahnya,” ucap Ratinah mengingat rumahnya lenyap terbakar. 

Tahun 2019, Ratinah memutuskan untuk berani mengunjungi lokasi Talangsari, ia memutuskan untuk belajar menerima kenyataan bahwa peristiwa yang dialami keluarganya adalah sebuah takdir.

Keberanian Ratinah mendatangi lokasi Talangsari bukan tanpa proses. Adalah Supiyah, orang yang selama ini rajin mengajak Ratinah untuk bersosialisasi kembali dengan masyarakat.

Setelah mengikuti pelatihan dari Yayasan Pulih di tahun 2016, Supiyah mengerti bagaimana cara berbicara dan mendekati Ratinah.

Supiyah sendiri juga merupakan salah satu korban Talangsari. Rumahnya dulu tak jauh dari lokasi peristiwa Talangsari. Hingga saat ini pun ia tak berani membangun rumah di lokasi semula. Supiyah memilih membeli tanah beberapa kilometer dari lokasi Talangsari.

“Seperti dusun mati, nggak ada kegiatan apapun.” ungkap perempuan berumur 51 tahun ini.

Supiyah menerangkan jalanan masih berbatu-batu, mengurus KTP saja sulit. Ia baru bisa membuat KTP di tahun 2019. 

“Imunisasi nggak bisa, vitamin juga nggak dapet. Katanya orang lokasi jadi nggak dapet jatah,” Keluarga Supiyah dicap sebagai orang lokasi dengan maksud ada kaitannya dengan peristiwa Talangsari.***

Editor: Alfanny Pratama

Tags

Terkini

Terpopuler