Dilansir pada laman Antara, 3 Desember 2020, pidato yang disampaikan dari Universitas Columbia di kota New York, Amerika Serikat, pada Rabu malam waktu Jakarta, Guterres mengingatkan bahwa saat ini kemanusiaan tengah berperang melawan alam, sesuatu yang disebutnya “bagaikan membunuh diri sendiri.”

Guterres mengatakan alam selalu menyerang balik atas apa yang telah kita lakukan terhadapnya selama ini, dan serangan balik yang keras ini sedang kita hadapi. 
 

Dampak dari kerusakan terhadap bumi menghalangi upaya dalam memberantas kemiskinan dan mengancam ketahanan pangan.
 
Situasi itu kemudian mempersulit upaya untuk menciptakan perdamaian, karena menurut dia, berbagai gangguan yang diakibatkan kerusakan alam mendorong ketidakstabilan, pengungsian, dan konflik.
 
Dia pun menyebut bahwa momentum pemulihan dari pandemi COVID-19 saat ini menjadi sebuah peluang untuk menyelesaikan kemerosotan alam yang berakar dari aktivitas manusia.

“Berdamai dengan alam adalah tugas penting di abad ke-21. Ini harus menjadi prioritas teratas semua orang, di mana pun kita berada.”

Ia memaparkan tiga poin penting yang perlu menjadi perhatian dalam upaya menangani krisis iklim, yang pertama yakni pentingnya mencapai netralitas karbon secara global, terutama dalam tiga dekade mendatang.

Kedua adalah untuk menyelaraskan keuangan global di balik Perjanjian Paris, sebagai cetak biru dunia untuk aksi iklim. Terakhir adalah perlunya menciptakan terobosan adaptasi untuk melindungi dunia beserta masyarakatnya dan negara-negara yang paling rentan dari dampak iklim.

“Kita sudah punya sebuah cetak biru: Agenda 2030, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dan Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. Pintu sudah terbuka, solusinya ada di sana," lanjut Guterres.
 
Selain itu, dia juga menyoroti pola pikir yang mulai bergeser, dengan banyaknya orang yang memahami kebutuhan akan pilihan harian masing-masing untuk mengurangi jejak karbon serta gelombang
mobilisisasi sosial yang dilakukan generasi muda.

Di penghujung pidatonya, Sekjen PBB menyuarakan optimisme atas kemajuan dalam upaya penyembuhan alam yang dapat dilakukan, termasuk dengan menyelamatkan lapisan ozon, memperluas kawasan lindung, munculnya kota-kota hijau, ekonomi sirkular yang mengurangi limbah, dan peraturan hukum terkait lingkungan yang semakin berkembang.

Selain itu, dia juga menyoroti pola pikir yang mulai bergeser, dengan banyaknya orang yang memahami kebutuhan akan pilihan harian masing-masing untuk mengurangi jejak karbon serta gelombang mobilisisasi sosial yang dilakukan generasi muda.

“Ini adalah momen yang krusial bagi manusia dan planet,” tutup Guterres.***