Mengeruk Cuan dari Pengolahan Sampah Kemasan Plastik

3 Desember 2020, 15:00 WIB
Ilustrasi sampah plastik. /Pixabay/RitaE

PR Metro Lampung News-- Menurut data Indonesia National Plastic Action Partnership (INPAP) yang dirilis April 2020, setiap tahunnya Indonesia menghasilkan 6,8 juta ton sampah plastik, dengan 9% atau sekitar 620 ribu ton masuk ke sungai, danau, dan laut.

Tak heran jika Indonesia kemudian  dikenal sebagai negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia.

Director of Sustainable Waste Indonesia (SWI) Dini Trisyanti dalam diskusi publik secara daring dengan tema "Mengeruk Cuan Sampah Kemasan Plastik dari Ekonomi Sirkular", pada Rabu, 2 Desember 2020 menyebut upaya untuk mengurangi sampah plastik harus segera dilakukan. Pasalnya, rata-rata manusia Indonesia menghasilkan sampah rumah tangga, kurang lebih 0.5 kg per orang per hari.

Dini Trisyanti menuturkan banyak yang mengatakan 0,6 hingga 0.7 kg, namun ia di SWI lebih senang menggunakan angka 0.5, karena Indonesia ini luas dan memiliki banyak kota besar, metropolitan, kota sedang, kota kecil, pulau terpencil dan sebagainya.

"Jadi tidak bisa menyamaratakan timbunan sampah ini," ujar perempuan yang telah 15 tahun berkecimpung di dunia sampah. 

Sustainable Waste Indonesia (SWI) juga menemukan ada 20%-24% sampah plastik berakhir di lingkungan. Hal itu ditemukan SWI pada 2017 bekerjasama dengan Danone mempelajari value change sampah plastik di Indonesia.

Selain itu, menurut pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebanyak 0.27 - 0.59 juta ton sampah terbuang ke lautan. Ada juga angka penelitian dari luar negeri yang menyatakan sampah plastik di laut sebanyak 3 juta ton.

Penelitian SWI juga menemukan sampah yang berujung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) jumlahnya cukup besar, yakni 60%. Sementara yang terdaur ulang masih di bawah 10%. Khusus untuk daur ulang sampah plastik angkanya hanya 7%. Padahal banyak jenis plastik yang tidak bisa didaur ulang.

Triyono Prijosoesilo dari Indonesian Plastic Recycle (IPR) menyesalkan maraknya sampah plastik yang berujung di perairan. Alhasil Indonesia dikenal sebagai negara penghasil sampah terbesar kedua di dunia.

"Angka ini masih debatable dan sayangnya angka ini sudah keburu keluar. Terlihat sudah menempel di kepala audience, baik lokal maupun mancanegara," ujar Triyono.

Triyono yang juga Wakil Ketua Pelaksana Coca Cola Foundation Indonesia menilai pemerintah telah menetapkan 3 target ambisius terkait pengelolaan sampah, yakni; pengurangan sampah plastik di laut sebanyak 70% pada tahun 2025, pengurangan sampah 30% dari semua sumber, dan pengelolaan hingga 70% sampah yang ada.

Pelaku usaha (private sector) menyetujui target tersebut. Namun ada tantangan yang harus dilalui yakni membangun kolaborasi bersama lintas instansi.

Misalnya saja jika merujuk data Indonesia National Plastic Action Partnership (INPAP), setiap tahunnya ditemukan 6.8 juta ton sampah plastik yang diproduksi oleh masyarakat. Dari jumlah itu, 61% sampah tersebut tidak dikumpulkan, dan tidak dikelola dengan baik.

"Uniknya, dari jumlah itu, 48%-nya malah dibakar. Ini kemudian yang masih menjadi problem bagi Indonesia," kata Triyono.

Aspek lain yang menarik adalah proses daur ulang (recycling) yang hanya 7%. Triyono menyebut proses pengumpulan (collection) pun mayoritas masih dilakukan oleh sektor informal.

"Ini menarik, karena di satu sisi merupakan masalah, tapi di sisi lain ini merupakan kesempatan," kata Triyono.

Aspek lain, jika dilihat dari karakteristik berbagai kota di Indonesia, maka yang paling lengkap memiliki infrastruktur industri pengolahan sampah umumnya berada di kota-kota besar, dengan manage dispossal sudah diatas 50%. Sementara di kota-kota menengah kurang dari 29%.

"Adapun desa dan daerah-daerah terpencil, itu menjadi problematik juga. Ini tantangan kita sebagai suatu negara yang besar dengan luas wilayah yang besar dan juga sekaligus sebagai negara kepulauan," tegas Triyono.

Terkait dengan ekonomi sirkular, Triyono mengingatkan plastik seharusnya bisa digunakan secara berulang-ulang, baik itu sebagai bahan baku, sehingga bisa mengurangi pemakaian virgin material.

"Itu yang menjadi esensi yang utama,"kata Triyono.

Coca Cola Foundation (CCF) Indonesia sebagai bagian dari sistem bisnis Coca Cola di Indonesia pun menegaskan kepedulian terhadap isu sampah tidak bisa ditawar lagi.

Oleh itu Coca Cola Group mengenalkan visi "World Without Waste", perusahaan ingin membantu mengumpulkan dan mendaur ulang botol atau packaging yang dijual di tahun 2030.

"Seberapa banyak yang diproduksi, maka segitu juga yang akan di collect dan didaur ulang. Caranya seperti apa? Itu yang memang harus dipikirkan," ujar Triyono

CCF Indonesia menilai 60% sampah plastik belum dikumpulkan dengan baik sebagai peluang. Oleh karena itu, CCF Indonesia mendukung terbentuknya sistem collection yang bisa menarik material, sehingga bisa didaur-ulang oleh industri.

"Material disini adalah plastik pascakonsumsi yang perlu dibangun sistemnya. Di Indonesia, sistem collectionnya perlu diperbaiki. Ini yang kami dorong, termasuk juga berpartner dengan teman-teman lain," papar Triyono.

Perwakilan Bank Sampah Induk Satu Hati Jakarta Barat, Subarna Martadinata menilai bank sampah merupakan solusi untuk mengurangi jumlah sampah di Jakarta.

Saat ini kondisi timbunan sampah di DKI Jakarta jumlahnya 7000 ton per hari, sementara di Jakarta Barat sendiri jumlahnya mencapai 1.300 ton per hari. Adapun TPA Bantar Gebang hanya seluas 110 Ha dan tidak mungkin akan bertambah.

"Tahun 2021-2022, prediksi Dinas LH DKI, maka TPA kita sudah tidak bisa menampung sampah yang jumlahnya terus membludak, karena jumlah penduduk yang terus bertambah," kata Subarna.

Subarna pun berinisiatif melakukan pengurangan sampah dari sumbernya, yaitu dengan membuat bank sampah induk yang berlokasi Kecamatan Cengkareng Barat. Bank Sampah Satu Hati telah mampu mengurangi 8-12 ton sampah per hari.

"Tiap sore direkap. Sampah-sampah itu tidak dibuang ke TPA," kata Subarna.

Selain itu, setiap harinya bank sampah induk mampu membayar ke warga sebesar Rp10-20 juta ke warga untuk sampah yang berhasil dikumpulkan.

Saat ini di bank sampah induk telah menaungi sedikitnya 800 bank sampah unit. Masyarakat pun termotivasi memilah sampah jika melihat ada insentif dan perputaran uang.

Sejak melakukan MoU dengan sejumlah bank sampah unit (BSU), pada 2017 omzet yang berhasil dikumpulkan Bank Sampah Satu Hati mencapai Rp1,5 miliar. Omzet itu terus tumbuh, pada tahun 2018 sampai Juni 2019 mencapai Rp8,2 miliar.

Sementara itu, Febriadi Pratama, Co-Founder Gringgo, start up yang berfokus pada sustainable development dan waste collector menilai edukasi pemilahan sampah daur ulang harus terus dilakukan.

Hal ini dikarenakan masih banyak warga yang tidak tahu jenis sampah yang bisa didaur ulang. Kondisi ini membuat Gringgo hadir sebagai platform berbasis artificial inteligent (AI) untuk membantu membangun kesadaran tersebut di masyarakat.

"Di sistem ini kita menggunakan AI untuk membantu mengidentifikasi tipe-tipe barang-barang daur ulang," katanya.

Meskipun masih dalam pengembangan dan ekspansi, Febriadi meyakini ide tersebut mampu memotivasi orang mengidentifikasi sampah yang dihasilkan.

Gringgo juga mengelola sistem informasi bagi user agar dapat mengikuti misi pengumpulan dan pengolahan sampah. User juga berpeluang mendapatkan reward atas partisipasi mereka.

"Data itu akan kita training sebagai model bagi AI agar semakin pintar, sehingga nantinya bisa membantu industri daur ulang, bukan hanya dalam mengidentifikasi tetapi juga mendapatkan barang-barang material yang baik kualitasnya," papar Febriadi.

Untuk memperkuat misi, Gringgo juga mengembangkan platform baru waste collector, yaitu SWAP (Smart Waste Platform). Aplikasi tersebut telah diterapkan di Makassar, Sulawesi Selatan.

Dengan aplikasi tersebut, Gringgo akan mengetahui cara kerja pengumpul, peta hulu ke hilir peredaran sampah, hingga jumlah dan tipe sampah yang dikumpulkan.

"Dari situ, kita juga bisa melihat juga melihat tipe sampah apa yang muncul di satu wilayah," terang Febriadi.

Aplikasi ini bisa memberikan data yang transparan soal sampah. Gringgo yakin kepastian data akan memudahkan investor yang akan masuk ke suatu daerah dengan mengetahui jumlah dan volume bahan baku yang berhasil dikumpulkan.

Investor juga memiliki informasi soal insentif yang bisa didapatkan.

"Misalkan mereka mau membangun industri daur ulang, sebaiknya dimana dan dengan kapasitas berapa banyak. Aplikasi ini kita harapkan bisa menjawab kebutuhan itu," pungkas Febriadi.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, Asnil Bambani dalam diskusi publik ikut menambahkan, ekonomi sirkular kini seharusnya menjadi perhatian media dan jurnalis. Terutama karena sampah plastik banyak yang terbuang dan belum termanfaatkan dengan baik.

"Seharusnya itu bisa menjadi mata rantai ekonomi baru yang bisa kita gunakan dan bisa lebih produktif dan bisa menghasilkan kreasi-kreasi baru yang bermanfaat bagi publik," ujar Asnil

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta berharap melalui diskusi ini media mampu memberikan informasi yang edukatif terhadap publik.

Selain itu dia pun berharap akan muncul dialog yang produktif lanjutan yang hasilnya perlu diketahui publik. Hal ini mengingat informasi terkait peluang penghasilan dari ekonomi sirkular mampu menginspirasi masyarakat. Apalagi di tengah pandemi ini Asnil berharap akan ada ide kreatif baru yang mungkin tercetus dari diskusi ini.***

Editor: Lutfi Yulisa

Tags

Terkini

Terpopuler