Menilik Peristiwa Talangsari 1989, Kisah Korban Berdamai dengan Trauma

6 Desember 2021, 23:49 WIB
Angka 1989 dimana tahun terjadinya Peristiwa Talangsari, terukir di lantai rumah Mardi /Metro Lampung News/Lutfi Yulisa/

PR Metro Lampung News-- Mardi bersama istrinya sedang mengobrol berdua di teras rumahnya, Minggu 21 November 2021. Di usianya yang ke-78 tahun Mardi dan Markinem (75) kini tinggal berdua. Sekilas tak ada yang terlihat berbeda dengan rumah yang dihuni oleh Mardi dan Markinem.

Namun jika mengingat peristiwa Talangsari tahun 1989, Mardi dan Markinem adalah saksi bagaimana peristiwa Talangsari begitu menakutkan bagi masyarakat desa Subing Putera III (dahulu dikenal dengan nama Cihideung, Dusun Talangsari Kabupaten Lampung Timur).

Rumah Mardi berhadapan langsung dengan lokasi peristiwa Talangsari. Dahulu, di depan rumahnya ada pondok pesantren yang baru akan diresmikan. Sebelum masuk ke rumahnya, tamu yang berkunjung bisa melihat ada angka terukir di lantai pintu masuk rumah Mardi. 1989, angka yang terukir di lantai semen Mardi, merupakan tahun di mana Peristiwa Talangsari terjadi.

Mardi bersama Markinem terpaksa mengungsi setelah deru tembakan mengagetkannya di siang hari mendekati waktu dhuhur 32 tahun silam. Markinem, istri Mardi lari bersama 8 orang anaknya berbekal tiwul yang ia taruh  tampah di kepalanya. 

Baca Juga: Lokasi CS Digital BCA di Bandar Lampung Lengkap Alamat Bisa Mencetak Kartu ATM Debit Non-Chip ke Chip

“Larinya sendiri-sendiri, nggak inget mau bareng-bareng. Masih pakai kaos dan celana dari sawah, belum sempat ganti baju,” Mardi berpikir kalau tidak lari saat itu, ia bisa mati.

Diantara rumah-rumah di lokasi peristiwa Talangsari, hanya rumahnya yang dibangun dengan batu bata, lainnya masih menggunakan kayu sehingga habis terbakar. Baru rumah Mardi yang sudah menggunakan bata, sehingga para tentara memanfaatkannya sebagai basecamp

“Saya masuk sini tahun 2000,” ucap Mardi mengenang.

Selama 11 tahun Mardi terusir dari rumahnya, tak berani kembali ke rumahnya yang dijadikan basecamp oleh pihak Korem dan Koramil.  Setelah pulang, mereka mendapati banyak lubang peluru menembus dinding-dinding rumahnya. Semua peralatan seperti kasur dan barang-barang hilang tak berbekas.

“Rumah ini udah rusak semua, genteng sudah habis, batanya sudah retak-retak,” Mardi kemudian merenovasi rumahnya.

Mardi mengaku menjadi saksi dimana Kapten Soetiman meninggal pada 6 Februari 1989. Saat peluru yang ditembakan Kapten Soetiman mengarah ke arah pondok. Seketika itu, suasana menjadi chaos karena orang-orang pondok berhamburan keluar.

“Nggak berani keluar, orang banyak orang, lari juga nerabas-nerabas kebon,” Mardi saat itu hanya bisa mengintip dari pojok rumahnya.

Setelah peristiwa itu, Mardi mengatakan bahwa istrinya ketakutan saat mendengar bunyi helikopter milik pangdam yang berlalu lalang. Ia dan Markinem memang sudah mengungsi, namun ia dan istrinya masih menggarap sawah di dekat lokasi peristiwa.

“Aku jangan mbok tinggal, wedi (takut) aku eneng kapal mudun (ada helikopter turun),” ucap, Mardi menirukan ucapan Markinem.

Mardi menyebut orang pondok sebagai kelompok Mujahidin. Ada pula yang menyebutnya dengan Jemaah Warsidi. Warsidi dikenal sebagai pemimpin Jemaah tersebut.

Mardi menunjukan lokasi bekas pondok pesantren Cihideung/ Metro Lampung News/Lutfi Yulisa

Bagi Mardi tak ada yang aneh dengan orang-orang di pondok tersebut. Yang ia tahu, mereka berasal dari berbagai daerah. Sampai akhirnya ia terkejut dengan adanya peristiwa Talangsari yang terjadi di depan rumahnya.

Peristiwa Talangsari bermula dari kecurigaan pemerintah terhadap aktivitas yang dilakukan di pondok pesantren yang disebut Jemaah Warsidi. Jemaah Warsidi dicap membangun komunitas yang tertutup dan tidak berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya. Adanya komunitas ini dinilai sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).

Dilansir dari Catatan Kontras dengan judul Kertas Posisi Kontras, Kasus Talangsari 1989, Sebuah Kisah Tragis yang Dilupakan, meletusnya peristiwa Talangsari pada 7 Februari 1989 terjadi setelah adanya rangkaian peristiwa pada beberapa waktu sebelumnya. 

Pada 27 Januari 1989, Camat Way Jepara, Zulkifli Maliki mengirim surat kepada Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) yang isinya memberitahukan bahwa di Cihideung ada kelompok yang melakukan kegiatan yang mencurigakan berkedok pengajian. Selanjutnya, pada 5 februari 1989, malam hari aparat Kodim Metro menyergap 6 orang pemuda Jemaah ketika sedang melakukan ronda. 

Kemudian pada 6 Februari 1989, Mayor E.O Sinaga bersama pasukan dari Koramil Way Jepara mengunjungi perkampungan dan mengakibatkan perselisihan yang berlanjut pada tindak kekerasan yang menewaskan Kapten Soetiman. 

Setelah peristiwa tersebut pada 7 Februari 1989 pukul 04.00 pagi  terjadi penyerbuan yang dipimpin oleh Danrem Garuda Hitam 043, Kol. Hendropriyono yang menyebabkan 246 orang jemaah Warsidi hingga kini dinyatakan hilang. Perkampungan Cihideung habis dibakar dan ditutup untuk umum. 

Selain terjadi di Cihideung Dusun Talangsari, rangkaian peristiwa Talangsari juga terjadi di desa Sidorejo Kabupaten Lampung Timur. Sidorejo menjadi tempat transit sebelum Jemaah Mujahidin sampai di pondok pesantren Cihideung.

Salah satu korban yang tinggal di desa Sidorejo adalah Edi Arsadad yang merupakan ketua Paguyuban Keluarga dan Korban Talangsari Lampung (PK2TL). Edi Arsadad masih berusia 11 tahun saat peristiwa Talangsari terjadi.

Edi Arsadad, ketua Paguyuban Keluarga dan Korban Talangsari Lampung (PK2TL) menunjukkan jalan setapak yang dilalui korban Talangsari untuk menyelamatkan diri/Metro Lampung News/Lutfi Yulisa

Siang itu, Sabtu 20 November 2021, Edi Arsadad kembali menceritakan apa yang dialaminya 32 tahun silam. Selasa, 7 Februari 1989 pagi hari Edi melihat aparat  menyerbu kediaman Zamzuri. Lalu terjadilah bentrok antara aparat dengan Zamzuri dan 8 orang jemaah.

Dalam peristiwa tersebut Edi yang ikut berlari saat terjadi kejar-kejaran antara aparat dan Jemaah. Edi melihat Serma Sudargo dari Polsek Sidorejo tewas. 

“Saya sembunyi dari balik tempat sembahyang orang hindu.” 

Edi bahkan ikut menutupi tubuh  Kepala Desa Sidorejo Arifin Santoso yang turut tewas pada peristiwa itu. 

“Saya cariin tiker nggak ada, akhirnya pakai daun pisang,” Edi sudah didampingi ibunya saat itu.

Melihat kekacauan yang terjadi di desanya, Edi dan sang ibu memutuskan untuk mengungsi ke tempat nenek, tak lama mereka memutuskan untuk pindah ke kediaman keluarga mereka di Lampung Selatan.

Setelah kejadian itu, Edi tak tahu keberadaan sang ayah. Ia berpisah dengan keluarganya. Sementara sang ibu dan adiknya pulang ke kampung halaman di Sumatera Barat.

Sebulan setelah kejadian, Pria berumur 43 tahun ini menyusul dan ibu pulang ke Sumbar dengan menumpang mobil fuso.

Sampai di Painan, kampung halaman ayahnya. Edi dijemput oleh Babinsa lalu dibawa ke Koramil, lalu dibawa kembali ke Kodim. Edi melihat ibunya sudah ada di sana, namun ia tak diperbolehkan bertemu.

Edi mencoba mendeskripsikan apa yang ia lihat di Kodim saat itu. Ada ruangan terbuka di tengah seperti lapangan yang agak luas, di sekitarnya ada bangunan yang mengelilingi. Ia hanya bisa melihat dari ruangan yang tertutup kaca berjarak sekitar 15m waktu ibu diinterogasi, tanpa terdengar jelas apa yang mereka ucapkan.

“Saya teringat betul, Ibu saya kepalanya dibentur-benturin ke tembok,” Edi merasa begitu sakit melihat bagaimana ibunya diperlakukan.

Setelah kejadian itu, Edi dan ibunya dibawa dan ditahan di Korem Padang, selama ditahan ia sering mendengar pertanyaan-pertanyaan aneh yang dilontarkan kepada ibunya.

“Bapak kamu mantan pejuang PRRI ya!” Edi menirukan petugas.

Pria berdarah Padang ini sempat marah dan melawan. Ia ambil stik biliar lalu dipukul-pukulkan ke kursi. 

“Setelah itu saya disiksa, kepala saya dipukul menggunakan pistol,  malam harinya saya diseret ke kolam,” jam 12 malam baru Edi dimasukan kembali ke sel.

Dua bulan Edi dan sang Ibu ditahan, sampai akhirnya sang ayah datang membawa surat dari desa dan kepolisian untuk menjemput mereka. Ternyata selama ini, ayahnya ditahan kurang lebih 3 bulan berpindah-pindah tempat. Azwar, Ayah Edi dibebaskan atas dasar keterlibatan ringan sebagai ex Jemaah Warsidi.

Sebelum bebas, Edi dipanggil oleh putugas untuk mengambil tumpukkan berkas. 

“Saya masih inget dan membaca  berkas itu adalah laporan introgasi ibu dan dirinya, saya gotong lalu disuruh bakar,” Edi membuang berkas tersebut ke dalam drum setengah yang sudah berapi.

Ketua PK2TL ini mengaku bahwa ia dan keluarganya tak tahu menahu asal peristiwa Talangsari. Ia juga belum mendengar kabar tentang peristiwa Talangsari yang juga terjadi di Cihideung di hari yang sama pada 7 Februari 1989. 

“Saya sama anak-anak memang biasa ngaji di tempat Zamzuri.”

Namun ia tak habis pikir bagaimana bisa ayahnya dikaitkan dengan Jemaah Warsidi, karena memang ayahnya tak ikut mengaji di sana.

Di tahun 1989 itu, Ayah dua orang anak ini mengaku ia hidup dalam keluarga yang berkecukupan. 

“Ayah sudah mampu membeli TV, punya motor binter merzy dan mobil colt,” Edi mengatakan ayahnya berjualan hasil bumi.

Namun setelah peristiwa itu, hidupnya berubah drastis. Sekembalinya dari Padang ke Lampung, rumah Edi sudah hancur total. 

“Saya tinggal di bekas reruntuhan rumah, atasnya dikasih terpal. Mulai dari nol lagi, sendok satu saja nggak ada.”

Lalu saat ingin kembali bersekolah, tak ada sekolah lagi yang mau menerimanya sebagai murid kelas 1 SMP. Ia dicap sebagai keluarga PKI dan Mujahidin. Sampai akhirnya ia bisa bersekolah di sebuah madrasah tsanawiyah, karena bantuan teman ayahnya.

“Semua manggilnya Mujahidin…. Mujahidin,” ungkap Edi yang mengaku tak memiliki banyak teman saat sekolah.

Mengenai apa yang dialami oleh keluarganya, Azwar dan Edi rajin menuliskannya di lembaran kertas folio. Pasca peristiwa bahkan ayah Edi sempat dipenjara kembali dua kali. Pertama karena menulis surat ke Pos Tromol 500 yang ditujukan kepada Wakil Presiden di tahun 1990, kedua di Tahun 1992 karena ingin membuktikan ketidakterlibatannya dalam kasus Talangsari.

Saat ini, Edi memang sudah berani bercerita tentang masa lalunya, tak ada keraguan saat ia bercerita namun siapa sangka setelah kejadian Talangsari di Sidorejo dimana saat itu ia melihat banyak darah di lokasi, Edi mengaku sampai sekarang takut disuntik padahal sebelumnya ia tak takut melihat darah karena ibunya sering membantu proses persalinan.

“Kalo sekarang disuntik, yang darah-darah gitu nggak mau, takut saya,” tutupnya.***

Editor: Alfanny Pratama

Tags

Terkini

Terpopuler