Saat memasuki perkampungan, yang terlihat hanya tanah cokelat yang pecah-pecah.
Saat sampai tujuan, ayah memarkir mobil di depan balai desa. Tak jauh dari situ, kerumunan warga tengah mengantre di sekeliling mobil tangki air.
Mereka membawa jeriken, ember, dan berbagai wadah untuk menampung air.
Ayah lalu mewawancarai kepala desa dan beberapa warga.
“Telaga-telaga sudah mengering pada awal kemarau. Begitu pula bak-bak penampungan air dan kolam-kolam yang kami buat, hanya cukup untuk satu bulan,” kata Pak Kepala Desa.
Elang memandang kerumunan warga dengan sedih. Ia lalu melihat seorang gadis kecil yang baru selesai mengantre air.
Jalannya terengah-engah.
Elang mendekatinya. “Sini, aku bantu.”
Mata bulat gadis kecil itu berbinar. Elang lalu memperkenalkan dirinya. Gadis itu bernama Gendis.
“Kenapa mengambil air sendiri?” tanya Elang perlahan